Rabu, 26 November 2014

PERILAKU IMPULSIF PADA ANAK KORBAN PERCERAIAN ORANG TUA (BROKEN HOME)



GAMBARAN PERILAKU IMPULSIF PADA ANAK KORBAN PERCERAIAN ORANG TUA  (BROKEN HOME)


LATAR BELAKANG
            Keluarga merupakan lembaga terkecil dalam sistem sosial kemasyarakatan. Bagi anak, keluarga merupakan lembaga primer yang tidak dapat diganti dengan kelembagaan yang lain. Pada kenyataannya, tidak semua keluarga dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Ketidakselarasan harapan dan tujuan ayah (suami) dan ibu (istri) dapat memunculkan konflik-konflik. Konflik-konflik yang terjadi dan berkepanjangan seringkali berakhir pada perceraian.
            Perceraian merupakan kulminasi dari penyesuaian perkawinan yang buruk dan terjadi bila antara suami istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyesuaian perkawinan yang baik (Hurlock,1996). Dalam membangun suatu pernikahan yang harmonis, ternyata tidak semudah seperti yang dibayangkan. Tingginya angka perceraian yang terjadi sebagai salah satu bukti bahwa tidak semua pernikahan berjalan dengan lancar seperti yang diharapkan oleh setiap pasangan suami istri.
            Angka perceraian di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Jawa Timur sebagai salah satu propinsi yang menyumbang angka tertinggi, serta Surabaya sebagai kota kelima, akan menghadirkan jumlah anak yang tidak sedikit dengan keluarga yang tidak lengkap atau broken home.
            Cerai merupakan peristiwa yang traumatis bagi anak. Anak akan menghadapi kenyataan bahwa keluarganya tidak lagi utuh. Bahwa ayah dan ibunya tidak lagi bersama dan banyak hal yang berubah dari kehidupan anak sebelumnya. Hal itu akan membawa dampak psikologis bagi anak.
            Efek perceraian khususya sangat berpengaruh pada anak-anak dan keluarga. Pada umumnya anak yang orangtuanya bercerai atau menikah lagi merasa malu karena mereka merasa berbeda. Hal ini sangat merusak konsep pribadi anak, kecuali apabila mereka tinggal dalam lingkungan di mana sebagian besar dari teman bermainnya juga berasal dari keluarga yang telah bercerai atau menikah lagi. (Hurlock, 1996).
            Anak-anak dari keluarga yang bercerai menunjukkan penyesuaian yang lebih buruk dibanding teman-teman mereka dari keluarga yang tidak bercerai (Amato & Dorius, 2011). Konflik dalam perkawinan, mungkin memiliki konsekuensi negatif bagi anak-anak (Cummings & Merrilees, 2009). Efek perceraian pada anak-anak sangat kompleks, tergantung pada faktor-faktor seperti usia anak, kekuatan dan kelemahan anak pada saat perceraian, jenis ketahanan, status sosial ekonomi, dan fungsi keluarga saat perceraian (Ziol-Gust 2009)
Perceraian adalah salah satu dari banyak aspek konteks sosial anak-anak yang dapat memiliki efek mendalam pada kinerja anak di sekolah (Santrock,2014). Beberapa penelitian yang bertujuan untuk membandingkan kemampuan akademik dan intelektual anak-anak dari keluarga yang bercerai dan tidak, menemukan bahwa anak-anak korban perceraian memiliki IQ yang lebih rendah, skor tes kemampuan matematika dan membaca yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga utuh (tidak mengalami perceraian). (Kelly, 1993)
            Anak-anak korban perceraian mengalami prestasi akademik yang rendah, konsep diri yang rendah serta menurunnya motivasi berprestasi dikarenakan ia hidup dalam keluarga dengan perkawinan yang tidak membahagiakan. (Long, Forehand, Fauber, & Brody, 1987).
Pada beberapa penelitian yang lain, anak-anak pasca perceraian orang tuanya (khususnya laki-laki) akan berperilaku lebih agresif, menampakkan perilaku impulsif, and anti sosial. Disamping itu mereka akan memiliki kesulitan dalam membina hubungan dengan teman sebayanya, kehilangan figur otoritas dan menimbulkan banyak masalah perilaku di sekolah. (Kelly, 1993)
Penelitian tentang perkembangan anak korban perceraian mengatakan bahwa perceraian maupun koflik dalam perkawinan akan berpengaruh pada kondisi emosi dan perilaku anak dikarenakan proses modelling. Ketika mereka mengamati tekanan emosi, ekspresi kemarahan dari perilaku agresif dan tidak terkontrol dari orang tuanya ketika dalam konflik perkawinan, akan menjadi referensi bagi anak-anak dalam berperilaku. Maka beberapa perilaku-perilaku impulsif, agresif setelah proses perceraian merupakaan referensi bentuk perilaku anak dalam menyikapi suasana yang menekannya. (Kelly,1993 )
Respon agresif dan perilaku impulsif yang muncul pada anak-anak seringkali membawa konsekuensi tersendiri bagi mereka dalam penyesuaian dirinya, baik secara sosial maupun dalam pendidikannya. Secara sosial mereka akan dianggap sebagai anak yang berperilaku sesuai keinginan mereka, tanpa memperhatikan norma-norma sosial dan keinginan lingkungan sekitarnya. Dalam pendidikannya atau di dunia sekolah, mereka dianggap (dilabel) sebagai anak pengganggu (disruptive) dalam kegiatan belajar mengajar yang terjadi.
Anak dengan perilaku impulsif seringkali merusak aturan sosial teman sebayanya dan membuat masalah untuk menarik perhatian di sekolahnya. Mereka sebenarnya memahami aturan, namun tidak dapat menahan keinginannya. Secara logika mereka mengetahui bahwa akan menjadi baik jika menunggu, namun mereka lebih mendahulukan keinginan emosinya. (Tarullo, Obradovic, Gunnar, 2009).
Menurut Schaefer, Charles E dan Millman, Howard (1981) dalam bukunya How To Help Children with Common Problem, anak-anak dengan kecenderungan impulsif berprilaku spontan, secara tiba-tiba, penuh kekuatan, menarik-narik dan dengan cara yang tidak direncanakan. Konsekuensi dari perilaku - perilaku tadi tidak terlalu diperhatikan olehnya, terlepas dari kenyataan banyak anak-anak ini ketika ditanya mampu menggambarkan konsekuensi negatif yang mereka juga tidak menyukainya.
Pada suatu waktu respon yang diberikan sangat cepat dan tanpa dipikirkan, untuk memenuhi dorongan-dorongan mereka. Mereka biasanya tidak dapat menerima penundaan dari pemenuhan keinginan-keinginan mereka dan biasanya mereka tidak merencanakannya. Seringnya, reaksi awal mereka dalam sebuah situasi tampak kurang pantas.
            Perilaku impulsif biasanya mendasari perilaku agresif dan hal ini seringkali disebut perilaku kurang matang atau kurang memadai pada perkembangan moralnya. Anak-anak dengan perilaku impulsif ini seringkali terlibat dalam perkelahian dan perdebatan. Dan mereka seringkali digambarkan oleh sebayanya sebagai “anak nakal yang manja”, yang selalu menginginkan sesuatu menurut kehendak dan caranya sendiri. Kemampuan untuk menunda pemenuhan keinginannya sangat penting untuk perkembangan kepribadiannya serta penyesuaian sosialnya.
            Pada masa anak-anak akhir (usia Sekolah Dasar), menurut Havighusrt, anak-anak diharapkan mampu mengembangkan peran sosial secara tepat, mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosialnya serta mengembangkan hati nurani, pengertian moral, dan nilai lingkungan. (Hurlock, 1996). Hal ini sejalan dengan perkembangan psikosoial menurut papalia, dimana anak-anak tersebut diharapkan bisa memenuhi aturan dan ketetapan lingkungan sosialnya. (Papalia,2012)
            Namun, anak-anak korban perceraian dan memperlihatkan kecenderungan agresivitas dengan perilaku impulsifnya seringkali kurang dapat diterima di lingkungan sosialnya. Perilaku yang menonjolkan pemenuhan keinginannya, tidak mau menunggu, merebut, membuat gaduh, menarik-narik sesuatu, memanggil-manggil berulang, menyela pembicaraan dan lain sebagainya, akan membuatnya kurang diterima oleh lingkungan sosialnya. Ini akan menghambat pencapaian tugas-tugas perkembangan yang harus dicapainya.
            Pada kenyataannya, seringkali dijumpai oleh penulis terdapat beberapa anak yang memperlihatkan perilaku yang membuat orang dewasa sekitarnya melabel “tidak sopan” pada mereka. Setelah ditelusuri mereka berasal dari keluarga yang mengalami perceraian. Muncul pertanyaan yang diajukan pada penulis baik dari orangtuanya maupun dari orang-orang sekitarnya seperti guru, atau orang dewasa lainnya, apakah perceraian yang dialaminya memberikan pengaruh pada perubahan perilaku anak-anak tersebut.
Berdasarkan pengalaman penulis, serta penelitian-penelitian yang sudah dikemukakan, melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian mengenai perilaku impulsif pada anak korban perceraian orang tua (broken home).

FOKUS PENELITIAN
            Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : Bagaimana gambaran perilaku impulsif pada anak-anak dengan korban perceraian orang tua (broken home).
            Sub penelitian yang akan dibahas dalam penelitian ini ada dua, yang pertama adalah: (a) Bagaimana proses perceraian orang tuanya, apakah sebelum terjadinya perceraian muncul konflik-konflik yang melibatkan ekspresi kemarahan dari perilaku agresif yang tidak terkontrol dari orang tua. Sub permasalah kedua adalah (b) Bagaimana proses penanaman nilai-nilai kesopanan atau penahanan diri (self control) yang dilakukan orang tua setelah perceraian kepada anak-anak mereka.

SIGNIFIKANSI PENELITIAN
            Berikut ini adalah penelitian-penelitian yang memiliki signifikansi dengan penelitian yang sedang dilakukan oleh penulis, yaitu membahas mengenai dampak perceraian orang tua terhadap kondisi emosi anak dan perubahan perilakunya.
            Penelitian pertama berjudul Current Research On Children’s Postdivorce Adjustment – No Simple Answer,yang dilakukan Joan B. Kelly, membahas anak-anak yang menjadi korban perceraian orang tuanya. Secara kognitif, anak-anak yang mengalami trauma perceraian akan memiliki kemampuan IQ dan prestasi matematika yang lebih rendah dari teman sebayanya yang berasal dari keluarga utuh. Disamping itu, konflik perkawinan yang dialami orang tua sebelum bercerai akan memberikan pengaruh secara emosi dan perilaku kepada anak-anak tersebut. Perilaku agresif, impulsif orang tua yang diamati anak-anak selama periode konflik akan menjadi referensi perilaku bagi anak-anak tersebut dalam merespon lingkungannya.
            Penelitian yang dilakukan oleh Sofia Salmawati Alia, 2010 dari UIN Malik Ibrahim Malang tentang Dampak Perceraian Orang Tua Terhadap Emosi Anak di SDN Ketawanggede I Malang, yang membahas tentang ekspresi emosi anak-anak korban perceraian. Ekspresi emosi yang sering ditampilkan anak adalah ekspresi sedih dan marah. Ungkapan kesedihannya dengan menangis, dan ungkapan kemarahannya dengan bertindak kasar. Perkembangan emosinya akan terganggu. Disamping itu, anak korban perceraian mengalami hambatan dan kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
            Fransisca Nanik Indriani (2008), melakukan penelitian yang berjudul Dampak Psikologis Perceraian Orang Tua terhadap Anak. Dalam penelitian ini membahas tentang dampak perceraian pada anak adalah perubahan sikap maupun perilakunya. Adanya penyangkalan, rasa marah, rasa takut, kesedihan dan rasa malu merupakan dampak negatifnya. Sedangkan dampak positifnya adalah anak menjadi lebih mandiri dan merasakan kehidupan yang lebih indah.
            Penelitian berikutnya dilakukan oleh Amandar R Tarullo, Jelena Obradovic, Megan R.Gunnar (2009) tentang Self Control and Developing Brain yang membahas tentang kontrol diri pada anak-anak impulsif atau agresif yang tampak kurang dapat dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia tumbuh dan berkembang. Lingkungan yang tenang dan jauh dari konflik akan memudahkan anak belajar mengendalikan keinginan-keinginannya dan mau menunggu. Sedangkan anak dengan lingkungan yang penuh konflik akan mengalami kesulitan mengendalikan diri dan kemauannya.
            Dari keempat penelitian diatas, penelitian yang dilakukan Joan B. Kelly (1993) memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Kemiripan tersebut adalah mengkaji anak-anak yang menjadi korban perceraian orang tua. Kelly mengkaji semua dampak perceraian orang tua di Inggris bagi anak-anaknya. Namun pada penelitian ini peneliti lebih mengkhususkan pada perilaku impulsif yang tampak pada anak-anak korban perceraian. Dan peneliti membatasi pada anak-anak usia sekolah dasar (masa anak-anak akhir).
            Disamping itu penelitian yang dilakukan Sofia Salmawati Alia, 2010 juga memiliki kemiripan, selain usia subjeknya yang sama, sofia juga mengkhususkan meneliti dampak perceraian pada sisi ekspresi emosi. Namun perbedaannya adalah peneliti mengkhususkan pada perilaku impulsif anak-anak korban perceraian orang tua.

TUJUAN PENELITIAN
            Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran perilaku impulsif pada anak-anak korban perceraian (broken home).
            Sedangkan tujuan penelitian yang terkait dengan sub permasalahan penelitian adalah : (a) Mengetahui dan memahami konflik-konflik yang melibatkan ekspresi kemarahan dari perilaku agresif yang tidak terkontrol dari orang tua sebelum proses perceraian orang tua yang teramati oleh anak. Sehingga anak memiliki referensi perilaku impulsif dan agresif. Sedangkan untuk sub permasalah kedua adalah (b) Mengetahui proses penanaman nilai-nilai kesopanan atau penahanan diri (self control) yang dilakukan orang tua setelah perceraian kepada anak-anak mereka.

MANFAAT PENELITIAN
            Manfaat personal bagi peneliti ini adalah sebagai salah satu media pembelajaran untuk menerapkan ilmu yang telah didapatkan yaitu ilmu psikologi, serta memberikan pengalaman berharga kepada penulis tentang bagaimana melakukan penelitian ilmiah yang bersifat kualitatif.
            Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi positif dalam bidang keilmuan psikologi berupa pemahaman yang lebih mendalam mengenai perilaku impulsif pada anak-anak korban perceraian orang tua. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian untuk penelitian serupa yang mungkin dilaksanakan dimasa datang.
            Manfaat praktis dari penelitian ini adalah dapat memberikan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat pada umumnya, dan mahasiswa pada khususnya, mengenai perilaku impulsif pada anak-anak korban perceraian orang tua dan merencanakan perlakuan atas anak-anak tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Hurlock, Elizabeth B., (1996), Psikologi Perkembangan, Suatu Rentang Sepanjang Rentang Kehidupan, Erlangga, Jakarta
Kelly, Joan B (1993), Current Research On Children’s Postdivorce Adjustment – No Simple Answer, diakses pada 29 Oktober 2014 http://progetti unicatt.it/mainprojects_Research_children_postdivorce_adjustment.pdf
Mash, Erich J., Wolfe, David A. (2005), Abnormal Child Psychology 3rd edition, Woodsworth.
Moeller, F. Gerard MD, Barratt, Ernest S. Ph.D, Daugherty, Donald M Ph D, Joy M.Schmitz, Ph.D, Alan C. Swann,MD (2001), Psychiatric Aspect of Impulsivity, Am J Psychiatriy 2001; 158:1783-1793 diakses pada 20 Oktober 2014, 09.45 http://ajp psychiatryonline.org/data/Journals/AJP/3730/1783.pdf
Nanik, (2007) Penelusuran Karakteristik Hasil Tes Inteligensi WISC Pada Anak Dengan Gangguan Pemusatan Perhatian, Jurnal Psikologi UGM Vol. 34, No.1, 18-39, 2007, diakses 25 Oktober 2014, 14.15 http://journal.psikologi.ugm.ac.id/index.php/fpsi/article/view/76.
Nanik, Fransisca., (2008) Dampak Psikologis Perceraian Orang Tua Terhadap Anak, Skripsi., diakses 29 Oktober 2014, pada 20.15, http://eprints.unika.ac.id/1668/1/03.40.0005_Fransisca_Nanik_Indriani.pdf
Nigel Mellor,Dr, (2008), ADHD or Attention Seeking?Ways of Distinguishing Two Common Childhood Problems,paper presented to BPS/DECP annual conference, Bournemouth January
Papalia, D.E. dan Feldman, R.D., (2014). Menyelami Perkembangan Manusia Buku 1 (Experience Human Development 12th ed.) diterjemahkan oleh Fitriana Wuri Herarti. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Papalia, D.E. dan Feldman, R.D., (2014). Menyelami Perkembangan Manusia Buku 2 (Experience Human Development 12th ed.) diterjemahkan oleh Fitriana Wuri Herarti. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Santrock, John W., (2014). Psikologi Pendidikan Buku 1 (Educational Psychology, 3th ed.) diterjemahkan oleh Diana Angelica. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Schaefer, Charles E, dan Millman. Howard L.(1981),L How to Help Children with Common Problems, Van Nostrand Reinhold Company Inc. Newyork
Sofia Salmawati Alia, (2010), Dampak Perceraian Orangtua Terhadap Emosi Anak di SDN Ketawanggede I Malang, diakses pada 30 Oktober 2014, 20.15. http://lib.uin-malang.ac.id/?mod=th_detail&id=06410047
Tarullo, Amandar R., Obradovic, Jelena., Gunnar, Megan R., (2009), Self Control and Developing Brain, diakses 31 Oktober 2014, pada 09.00, http://web.stanford.edu/group/pdf/Tarullo,%20Gunar%20(2009,%200-3)Self-Control%20and%20the%20Developing%20brain,pdf.

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar