GAMBARAN PERILAKU IMPULSIF PADA ANAK KORBAN
PERCERAIAN ORANG TUA (BROKEN HOME)
LATAR BELAKANG
Keluarga merupakan lembaga terkecil
dalam sistem sosial kemasyarakatan. Bagi anak, keluarga merupakan lembaga
primer yang tidak dapat diganti dengan kelembagaan yang lain. Pada
kenyataannya, tidak semua keluarga dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Ketidakselarasan
harapan dan tujuan ayah (suami) dan ibu (istri) dapat memunculkan
konflik-konflik. Konflik-konflik yang terjadi dan berkepanjangan seringkali
berakhir pada perceraian.
Perceraian
merupakan kulminasi dari penyesuaian perkawinan yang buruk dan terjadi bila
antara suami istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyesuaian perkawinan
yang baik (Hurlock,1996). Dalam membangun suatu pernikahan
yang harmonis, ternyata tidak semudah seperti yang dibayangkan. Tingginya angka
perceraian yang terjadi sebagai salah satu bukti bahwa tidak semua pernikahan
berjalan dengan lancar seperti yang diharapkan oleh setiap pasangan suami
istri.
Angka perceraian di Indonesia
terus meningkat dari tahun ke tahun. Jawa Timur sebagai salah satu propinsi
yang menyumbang angka tertinggi, serta Surabaya sebagai kota kelima, akan
menghadirkan jumlah anak yang tidak sedikit dengan keluarga yang tidak lengkap
atau broken home.
Cerai merupakan peristiwa yang
traumatis bagi anak. Anak akan menghadapi kenyataan bahwa keluarganya tidak
lagi utuh. Bahwa ayah dan ibunya tidak lagi bersama dan banyak hal yang berubah
dari kehidupan anak sebelumnya. Hal itu akan membawa dampak psikologis bagi
anak.
Efek perceraian khususya sangat
berpengaruh pada anak-anak dan keluarga. Pada umumnya anak yang orangtuanya
bercerai atau menikah lagi merasa malu karena mereka merasa berbeda. Hal ini
sangat merusak konsep pribadi anak, kecuali apabila mereka tinggal dalam
lingkungan di mana sebagian besar dari teman bermainnya juga berasal dari
keluarga yang telah bercerai atau menikah lagi. (Hurlock, 1996).
Anak-anak
dari keluarga yang bercerai menunjukkan penyesuaian yang lebih buruk dibanding
teman-teman mereka dari keluarga yang tidak bercerai (Amato & Dorius,
2011). Konflik dalam perkawinan, mungkin memiliki konsekuensi negatif bagi
anak-anak (Cummings & Merrilees, 2009). Efek perceraian pada anak-anak
sangat kompleks, tergantung pada faktor-faktor seperti usia anak, kekuatan dan
kelemahan anak pada saat perceraian, jenis ketahanan, status sosial ekonomi,
dan fungsi keluarga saat perceraian (Ziol-Gust 2009)
Perceraian
adalah salah satu dari banyak aspek konteks sosial anak-anak yang dapat
memiliki efek mendalam pada kinerja anak di sekolah (Santrock,2014). Beberapa
penelitian yang bertujuan untuk membandingkan kemampuan akademik dan
intelektual anak-anak dari keluarga yang bercerai dan tidak, menemukan bahwa
anak-anak korban perceraian memiliki IQ yang lebih rendah, skor tes kemampuan
matematika dan membaca yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang
berasal dari keluarga utuh (tidak mengalami perceraian). (Kelly, 1993)
Anak-anak
korban perceraian mengalami prestasi akademik yang rendah, konsep diri yang
rendah serta menurunnya motivasi berprestasi dikarenakan ia hidup dalam
keluarga dengan perkawinan yang tidak membahagiakan. (Long, Forehand, Fauber, & Brody, 1987).
Pada
beberapa penelitian yang lain, anak-anak pasca perceraian orang tuanya (khususnya
laki-laki) akan berperilaku lebih agresif, menampakkan perilaku impulsif, and
anti sosial. Disamping itu mereka akan memiliki kesulitan dalam membina
hubungan dengan teman sebayanya, kehilangan figur otoritas dan menimbulkan
banyak masalah perilaku di sekolah. (Kelly, 1993)
Penelitian
tentang perkembangan anak korban perceraian mengatakan bahwa perceraian maupun
koflik dalam perkawinan akan berpengaruh pada kondisi emosi dan perilaku anak
dikarenakan proses modelling. Ketika
mereka mengamati tekanan emosi, ekspresi kemarahan dari perilaku agresif dan
tidak terkontrol dari orang tuanya ketika dalam konflik perkawinan, akan
menjadi referensi bagi anak-anak dalam berperilaku. Maka beberapa
perilaku-perilaku impulsif, agresif setelah proses perceraian merupakaan referensi
bentuk perilaku anak dalam menyikapi suasana yang menekannya. (Kelly,1993 )
Respon
agresif dan perilaku impulsif yang muncul pada anak-anak seringkali membawa
konsekuensi tersendiri bagi mereka dalam penyesuaian dirinya, baik secara
sosial maupun dalam pendidikannya. Secara sosial mereka akan dianggap sebagai
anak yang berperilaku sesuai keinginan mereka, tanpa memperhatikan norma-norma
sosial dan keinginan lingkungan sekitarnya. Dalam pendidikannya atau di dunia
sekolah, mereka dianggap (dilabel) sebagai anak pengganggu (disruptive) dalam kegiatan belajar mengajar yang terjadi.
Anak dengan
perilaku impulsif seringkali merusak aturan sosial teman sebayanya dan membuat
masalah untuk menarik perhatian di sekolahnya. Mereka sebenarnya memahami
aturan, namun tidak dapat menahan keinginannya. Secara logika mereka mengetahui
bahwa akan menjadi baik jika menunggu, namun mereka lebih mendahulukan
keinginan emosinya. (Tarullo, Obradovic, Gunnar, 2009).
Menurut Schaefer, Charles E dan Millman, Howard (1981) dalam
bukunya How To Help Children with Common
Problem, anak-anak dengan
kecenderungan impulsif berprilaku spontan, secara tiba-tiba, penuh kekuatan,
menarik-narik dan dengan cara yang tidak direncanakan. Konsekuensi dari
perilaku - perilaku tadi tidak terlalu diperhatikan olehnya, terlepas dari
kenyataan banyak anak-anak ini ketika ditanya mampu menggambarkan konsekuensi
negatif yang mereka juga tidak menyukainya.
Pada suatu waktu respon yang diberikan sangat cepat dan tanpa
dipikirkan, untuk memenuhi dorongan-dorongan mereka. Mereka biasanya tidak
dapat menerima penundaan dari pemenuhan keinginan-keinginan mereka dan biasanya
mereka tidak merencanakannya. Seringnya, reaksi awal mereka dalam sebuah
situasi tampak kurang pantas.
Perilaku impulsif biasanya mendasari
perilaku agresif dan hal ini seringkali disebut perilaku kurang matang atau
kurang memadai pada perkembangan moralnya. Anak-anak dengan perilaku impulsif
ini seringkali terlibat dalam perkelahian dan perdebatan. Dan mereka seringkali
digambarkan oleh sebayanya sebagai “anak nakal yang manja”, yang selalu
menginginkan sesuatu menurut kehendak dan caranya sendiri. Kemampuan untuk
menunda pemenuhan keinginannya sangat penting untuk perkembangan kepribadiannya
serta penyesuaian sosialnya.
Pada masa anak-anak akhir (usia
Sekolah Dasar), menurut Havighusrt, anak-anak diharapkan mampu mengembangkan
peran sosial secara tepat, mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok
sosialnya serta mengembangkan hati nurani, pengertian moral, dan nilai
lingkungan. (Hurlock, 1996). Hal ini sejalan dengan perkembangan psikosoial
menurut papalia, dimana anak-anak tersebut diharapkan bisa memenuhi aturan dan
ketetapan lingkungan sosialnya. (Papalia,2012)
Namun, anak-anak korban perceraian
dan memperlihatkan kecenderungan agresivitas dengan perilaku impulsifnya
seringkali kurang dapat diterima di lingkungan sosialnya. Perilaku yang
menonjolkan pemenuhan keinginannya, tidak mau menunggu, merebut, membuat gaduh,
menarik-narik sesuatu, memanggil-manggil berulang, menyela pembicaraan dan lain
sebagainya, akan membuatnya kurang diterima oleh lingkungan sosialnya. Ini akan
menghambat pencapaian tugas-tugas perkembangan yang harus dicapainya.
Pada kenyataannya, seringkali
dijumpai oleh penulis terdapat beberapa anak yang memperlihatkan perilaku yang
membuat orang dewasa sekitarnya melabel “tidak sopan” pada mereka. Setelah
ditelusuri mereka berasal dari keluarga yang mengalami perceraian. Muncul pertanyaan
yang diajukan pada penulis baik dari orangtuanya maupun dari orang-orang
sekitarnya seperti guru, atau orang dewasa lainnya, apakah perceraian yang
dialaminya memberikan pengaruh pada perubahan perilaku anak-anak tersebut.
Berdasarkan pengalaman penulis, serta penelitian-penelitian
yang sudah dikemukakan, melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian
mengenai perilaku impulsif pada anak korban perceraian orang tua (broken home).
FOKUS PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang yang
sudah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian
ini adalah : Bagaimana gambaran perilaku impulsif pada anak-anak dengan korban
perceraian orang tua (broken home).
Sub penelitian yang akan dibahas
dalam penelitian ini ada dua, yang pertama adalah: (a) Bagaimana proses
perceraian orang tuanya, apakah sebelum terjadinya perceraian muncul
konflik-konflik yang melibatkan ekspresi kemarahan dari perilaku agresif yang
tidak terkontrol dari orang tua. Sub permasalah kedua adalah (b) Bagaimana
proses penanaman nilai-nilai kesopanan atau penahanan diri (self control) yang dilakukan orang tua setelah perceraian kepada
anak-anak mereka.
SIGNIFIKANSI PENELITIAN
Berikut ini adalah
penelitian-penelitian yang memiliki signifikansi dengan penelitian yang sedang
dilakukan oleh penulis, yaitu membahas mengenai dampak perceraian orang tua
terhadap kondisi emosi anak dan perubahan perilakunya.
Penelitian
pertama berjudul Current Research On
Children’s Postdivorce Adjustment – No Simple Answer,yang dilakukan Joan B.
Kelly, membahas anak-anak yang menjadi korban perceraian orang tuanya. Secara
kognitif, anak-anak yang mengalami trauma perceraian akan memiliki kemampuan IQ
dan prestasi matematika yang lebih rendah dari teman sebayanya yang berasal
dari keluarga utuh. Disamping itu, konflik perkawinan yang dialami orang tua
sebelum bercerai akan memberikan pengaruh secara emosi dan perilaku kepada
anak-anak tersebut. Perilaku agresif, impulsif orang tua yang diamati anak-anak
selama periode konflik akan menjadi referensi perilaku bagi anak-anak tersebut
dalam merespon lingkungannya.
Penelitian
yang dilakukan oleh Sofia Salmawati Alia, 2010 dari UIN Malik Ibrahim Malang
tentang Dampak Perceraian Orang Tua
Terhadap Emosi Anak di SDN Ketawanggede I Malang, yang membahas tentang
ekspresi emosi anak-anak korban perceraian. Ekspresi emosi yang sering
ditampilkan anak adalah ekspresi sedih dan marah. Ungkapan kesedihannya dengan
menangis, dan ungkapan kemarahannya dengan bertindak kasar. Perkembangan
emosinya akan terganggu. Disamping itu, anak korban perceraian mengalami
hambatan dan kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
Fransisca
Nanik Indriani (2008), melakukan penelitian yang berjudul Dampak Psikologis Perceraian Orang Tua terhadap Anak. Dalam
penelitian ini membahas tentang dampak perceraian pada anak adalah perubahan
sikap maupun perilakunya. Adanya penyangkalan, rasa marah, rasa takut,
kesedihan dan rasa malu merupakan dampak negatifnya. Sedangkan dampak
positifnya adalah anak menjadi lebih mandiri dan merasakan kehidupan yang lebih
indah.
Penelitian
berikutnya dilakukan oleh Amandar R Tarullo, Jelena Obradovic, Megan R.Gunnar
(2009) tentang Self Control and
Developing Brain yang membahas tentang kontrol diri pada anak-anak impulsif
atau agresif yang tampak kurang dapat dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia
tumbuh dan berkembang. Lingkungan yang tenang dan jauh dari konflik akan
memudahkan anak belajar mengendalikan keinginan-keinginannya dan mau menunggu.
Sedangkan anak dengan lingkungan yang penuh konflik akan mengalami kesulitan
mengendalikan diri dan kemauannya.
Dari
keempat penelitian diatas, penelitian yang dilakukan Joan B. Kelly (1993)
memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Kemiripan
tersebut adalah mengkaji anak-anak yang menjadi korban perceraian orang tua.
Kelly mengkaji semua dampak perceraian orang tua di Inggris bagi anak-anaknya.
Namun pada penelitian ini peneliti lebih mengkhususkan pada perilaku impulsif
yang tampak pada anak-anak korban perceraian. Dan peneliti membatasi pada
anak-anak usia sekolah dasar (masa anak-anak akhir).
Disamping
itu penelitian yang dilakukan Sofia Salmawati Alia, 2010 juga memiliki
kemiripan, selain usia subjeknya yang sama, sofia juga mengkhususkan meneliti
dampak perceraian pada sisi ekspresi emosi. Namun perbedaannya adalah peneliti
mengkhususkan pada perilaku impulsif anak-anak korban perceraian orang tua.
TUJUAN
PENELITIAN
Tujuan
utama penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran perilaku impulsif pada
anak-anak korban perceraian (broken home).
Sedangkan tujuan penelitian yang
terkait dengan sub permasalahan penelitian adalah : (a) Mengetahui dan memahami
konflik-konflik yang melibatkan ekspresi kemarahan dari perilaku agresif yang
tidak terkontrol dari orang tua sebelum proses perceraian orang tua yang teramati
oleh anak. Sehingga anak memiliki referensi perilaku impulsif dan agresif.
Sedangkan untuk sub permasalah kedua adalah (b) Mengetahui proses penanaman
nilai-nilai kesopanan atau penahanan diri (self
control) yang dilakukan orang tua setelah perceraian kepada anak-anak
mereka.
MANFAAT PENELITIAN
Manfaat personal bagi peneliti
ini adalah sebagai salah satu media pembelajaran untuk menerapkan ilmu yang
telah didapatkan yaitu ilmu psikologi, serta memberikan pengalaman berharga
kepada penulis tentang bagaimana melakukan penelitian ilmiah yang bersifat
kualitatif.
Manfaat teoritis dari penelitian ini
adalah memberikan kontribusi positif dalam bidang keilmuan psikologi berupa
pemahaman yang lebih mendalam mengenai perilaku impulsif pada anak-anak korban
perceraian orang tua. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian
untuk penelitian serupa yang mungkin dilaksanakan dimasa datang.
Manfaat praktis dari penelitian ini
adalah dapat memberikan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat pada umumnya,
dan mahasiswa pada khususnya, mengenai perilaku impulsif pada anak-anak korban
perceraian orang tua dan merencanakan perlakuan atas anak-anak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Hurlock, Elizabeth B., (1996), Psikologi Perkembangan, Suatu Rentang
Sepanjang Rentang Kehidupan, Erlangga, Jakarta
Kelly, Joan B (1993), Current Research On Children’s Postdivorce
Adjustment – No Simple Answer, diakses pada 29 Oktober 2014 http://progetti
unicatt.it/mainprojects_Research_children_postdivorce_adjustment.pdf
Mash, Erich J., Wolfe, David A. (2005),
Abnormal Child Psychology 3rd
edition, Woodsworth.
Moeller, F. Gerard MD, Barratt, Ernest
S. Ph.D, Daugherty, Donald M Ph D, Joy M.Schmitz, Ph.D, Alan C. Swann,MD
(2001), Psychiatric Aspect of Impulsivity,
Am J Psychiatriy 2001; 158:1783-1793 diakses pada 20 Oktober 2014, 09.45 http://ajp
psychiatryonline.org/data/Journals/AJP/3730/1783.pdf
Nanik, (2007) Penelusuran Karakteristik Hasil Tes Inteligensi WISC Pada Anak Dengan
Gangguan Pemusatan Perhatian, Jurnal Psikologi UGM Vol. 34, No.1, 18-39,
2007, diakses 25 Oktober 2014, 14.15 http://journal.psikologi.ugm.ac.id/index.php/fpsi/article/view/76.
Nanik, Fransisca., (2008) Dampak Psikologis Perceraian Orang Tua
Terhadap Anak, Skripsi., diakses 29 Oktober 2014, pada 20.15, http://eprints.unika.ac.id/1668/1/03.40.0005_Fransisca_Nanik_Indriani.pdf
Nigel Mellor,Dr, (2008), ADHD or Attention Seeking?Ways of
Distinguishing Two Common Childhood Problems,paper presented to BPS/DECP
annual conference, Bournemouth January
Papalia, D.E. dan Feldman, R.D., (2014). Menyelami
Perkembangan Manusia Buku 1 (Experience Human Development 12th ed.) diterjemahkan
oleh Fitriana Wuri Herarti. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Papalia, D.E. dan Feldman, R.D., (2014). Menyelami
Perkembangan Manusia Buku 2 (Experience Human Development 12th ed.) diterjemahkan
oleh Fitriana Wuri Herarti. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Santrock, John W.,
(2014). Psikologi Pendidikan Buku 1 (Educational Psychology, 3th ed.)
diterjemahkan oleh Diana Angelica. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Schaefer, Charles E, dan Millman.
Howard L.(1981),L How to Help Children
with Common Problems, Van Nostrand Reinhold Company Inc. Newyork
Sofia Salmawati Alia, (2010), Dampak Perceraian Orangtua Terhadap Emosi
Anak di SDN Ketawanggede I Malang, diakses pada 30 Oktober 2014, 20.15. http://lib.uin-malang.ac.id/?mod=th_detail&id=06410047
Tarullo, Amandar R.,
Obradovic, Jelena., Gunnar, Megan R., (2009), Self Control and Developing Brain, diakses 31 Oktober 2014, pada
09.00, http://web.stanford.edu/group/pdf/Tarullo,%20Gunar%20(2009,%200-3)Self-Control%20and%20the%20Developing%20brain,pdf.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar