Sabtu, 28 Februari 2015

Idealisme



IDEALISME?? ..Bagaimana menyikapinya..

Hasil sharing sore bersama sahabat lama…terimakasih..

Sebagai seorang individu, bahkan manusia yang berpendidikan, kita memiliki idealisme tersendiri dalam menyikapi sebuah sistem atau fenomena masalah. Kita memiliki argumen-argumen tertentu berdasarkan pemikiran dan mungkin sedikit pengetahuan kita tentang hal tersebut. Dan kita berupaya mempresentasikannya dalam sikap, berbicara bahkan mungkin tingkah laku yang kita rasa dapat mengungkapkan idealisme kita.

Sebagai makhluk sosial, kita tidak terlepas dalam hubungan dengan manusia lain. Bahkan kita ada didunia ini pun melibatkan Ibu dan ayah kita. Manusia lain bukan?..ketika idealisme kita bertabrakan dengan idealisme orang lain, bagaimana sikap kita?
Mempertahankan mati-matian?
Bersikap fleksibel dan menyesuaikan?
Atau kita membunuh idealisme kita?

Sudah jamak dipahami bahwa manusia yang berhasil relasi sosialnya adalah ia yang dapat diterima. Penerimaan terhadap orang tersebut bukan tanpa alasan, tapi bagaimana orang tersebut membawa diri dan idealismenya sebagai sebuah paket yang nyaman didengar dan dipandang orang merupakan alasan terpenting bagi orang tersebut untuk dapat diterima dan dikenang

Mempertahankan idealisme mati-matian, dapat berbagai macam caranya. Ada yang memang ia memaksa sebagian orang mengikuti keinginannya atau ia memilih mengundurkan diri dari komunitasnya dalam rangka mempertahankan idealismenya.
Keduanya pilihan, ketika kita memaksa, refleksikan itu dalam diri anda. Apakah memang idealisme yang anda pertahankan itu benar-benar prinsip dan memiliki dasar yang kuat. Kalau dalam dunia ilmiah adalah memiliki evidence based. Karena kita kita mantap beridealisme ria dan kukuh memegangnya, dia akan menguasai diri kita, sehingga manifestasi yang nampak oleh orang lain adalah ”kita merasa sangat benar”. Bagaimana ketika ada disekitar kita, kita menjumpai orang yang demikian?

Menurut saya, sangat tidak nyaman bertemu dengan orang tersebut. Bisa jadi akan muncul bentuk-bentuk agresivitas yang dapat merusak hubungan. Ataupun ketika kita memilih meninggalkan komunitas dengan tujuan mempertahankan idealisme, kita harus dapat memastikan bahwa pilihan kita pun memiliki dasar prinsip yang tepat

 
 
Dan manusia adaptiflah yang mampu bertahan dalam perang idealisme tersebut. Ia mampu secara asertif mengungkapkan idealismenya namun bersikap fleksibel dan mengelola emosinya untuk dapat menerima perbedaan idealisme. Ia akan menggunakan cara-cara yang benar dan tepat dalam menyampaikan keinginannya tanpa bermaksud secara revolusioner mengubah cara pandang ataui sebuah sistem untuk dapat menerima ide-idenya. Kita merasa benar tapi bukan paling benar. Kita memiliki pendapat, tapi orang lain pun mempunyai hak yang sama berpendapat. Akibatnya adalah saling menghormati dan menghargai. Sehingga tercipta sebuah hubungan yang harmonis.

Membunuh idealisme menjadi pilihan yang kurang tepat ketika kita belum mengungkapkannya secara baik. Karena pelan tapi pasti kita menjadikan pemikiran kita tidak berkembang dan tidak kritis memandang sebuah permasalahan. Kita hanya mengikuti secara buta apa pendapat orang tanpa kita tahu apa sebenarnya keinginan kita.

Jadi tidak ada salahnya kita belajar mengembangkan asertivitas dalam mengungkapkan idealisme. Karena mempertahankan dengan cara tidak benar akan banyak melukai komunitas. Dan membunuhnya berarti melukai diri sendiri.

Selamat belajar..... 

Rabu, 11 Februari 2015

Benteng Iman



BENTENG IMAN…

Malam itu situasi cerah, kondisi yang tidak biasanya mengingat setiap sore hingga malam kota kami diguyur hujan. Alhamdulillah kami bisa mennghadiri kajian yang cukup bermanfaat dan recharge iman serta menambah wawasan.

Kajian dimulai bakda isya’, setelah kami tuntas menunaikan ibadah sholat isya’ berjamaah. Dibuka dengan lantunan sholawat dan iringan rebbana mengingatkan kami untuk selalu bersholawat pada sosok mulia yang telah dipilihNya mengajak kita semua mengikuti Islam. Dengan santun akhlaknya menjadikan contoh bagi kita semua untuk terus dan terus memperbaiki diri. Maha Suci Allah yang Menghadirkan sosok Mulia Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.

Tiba saat yang dinanti, KH. Imam Hambali, pengasuh ponpes mahasiswa Al Jihad Surabaya, memulai kajiannya. Sungguh sosok yang tawadhu’ dan down to earth penampilannya. Sosok yang biasanya terbatas kami dengarkan suaranya melalui radio atau kami lihat di televise swasta Surabaya. Dibuka dengan salam dan sedikit ramah tamah alhamdulillah sepanjang beliau menyampaikan kajian audience tampak antusias dan tidak mengantuk.

Beliau mengawali kajian dengan menceritakan saat-saat diusirnya setan dari surga, dikarenakan kesombongannya. Saat akan diusir, setan mengajukan permintaan kepada Allah dan dikabulkan. Permintaannya yaitu :
1. Tidak meninggal hingga kiamat (berumur panjang)
2. Mengajak sebanyak-banyaknya kaum Adam untuk menjadi temannya di Neraka. Terkecuali mereka yang mampu menjaga keikhlasan dalam hatinya.
 

Keikhlasan sangatlah terkait dengan keimanan dalam diri seseorang. Meski semua adalah hidayah dan anugrah Allah untuk terus memegang keimanan dan keislaman serta mampu bersikap ikhlas, namun KH. Imam Hambali kemarin membagi tips untuk kiranya kita dapat menjaga keimanan kita. Atau lebih pasnya disebut benteng Iman. Diantara benteng Iman adalah :
  1. MASJID. Frekwensi hadir di masjid sangat membantu kita untuk terus mengingat dan beribadah kepada Allah. Setidaknya kita membentengi diri dengan bentuk-bentuk ibadah yang istiqomah ketika kita menautkan hati kita pada masjid
  2. AL QUR’AN. Al Quran sebagai Kalam Allah akan membantu kita untuk kembali mengingat dan memahami petunjuk-petunjuk Allah. Aturan-aturan dalam agama kita. Dan banyak disebutkan bahwa dengan membaca Al Quran akan membawa keajaiban dan kemuliaan bagi pembacanya.
  3. DZIKRULLAH. Jelas disini, benteng iman yang ketiga adalah terus mengingat Allah. Menyebut kalimat-kalimat thoyyibah yang dicontohkan Rasul.

Dan kemudian KH. Imam Hambali terus menegaskan bahwa kita wajib secara bersama-sama, kompak, bersatu padu memakmurkan masjid sebagai ikhtiar kita membentengi iman. Abaikan perbedaan, selama secara aqidah masih mengaku Islam, kita wajib bertoleransi dan bersikap ramah. 

Kajian ditutup dengan doa dan kembali diiringi sholawat untuk mengantar tamu-tamu pulang kembali kerumahnya. Semoga bermanfaat.

Kamis, 05 Februari 2015

Home sweet home...



RUMAHKU ISTANAKU...



Sering kita mendengar istilah diatas..bahkan ada yang menyampaikan bahwa itu adalah sebuah hadist atau istilah yang pernah digambarkan Nabi Muhammad SAW. Maksud dari istilah diatas adalah bagaimana sebuah rumah menjadi nyaman bagi penghuninya, menjadi sebuah tempat pulang dan berkumpul lagi yang membawa kedamaian bagi orang yang tinggal di rumah tersebut.
Kadang kita membayangkan sebuah rumah yang nyaman adalah yang cukup fasilitas, lapang dan penuh dengan perabot yang kita butuhkan. Namun banyak kisah sinetron yang tidak mencontohkan seperti itu. Bahkan dalam kehidupan sehari-haripun sering kita temui berbagai kisah pilu yang berasal dari penghuni rumah gedongan.
Rumah yang membuat penghuninya tidak betah, lebih banyak menghabiskan waktu di luar dan kembali ke rumah hanya untuk tidur. Rumah yang tanpa gelak tawa, canda kemesraan serta tangisan bahagia orang-orang didalamnya. Padahal gedung yang ada cukup layak, lebih dari sekedar tempat untuk tidur dan sangat memungkinkan orang-orang nyaman dan berinteraksi serta betah didalamnya. Tidak jarang kita menjumpai rumah seperti itu.
Namun ada juga sebuah cerita, rumah yang tidak begitu bagus, namun orang-orangnya sangat nyaman, selalu merindukan rumahnya dan tidak akan bisa tidur nyenyak jika bukan di rumahnya. Bahkan penghuninya selalu membanggakan rumahnya.
Rumah yang selalu dirindukan, di jaga rapi dan dipelihara. Berisian kekompakan sebuah keluarga. Rumah yang menjadikan setiap penghuninya merasakan kedamaian yang tidak mungkin dapat ditemukan di tempat lain, sekalipun tempat lain tersebut lebih segalanya jika dibandingkan rumahnya.
Tipe bagaimanakah rumah kita?
Selanjutnya adalah saya ingin berbagi hasil taklim saya dengan Ust. Junaidi Sahal tentang bagaimana supaya rumah kita membawa kedamaian bagi peghuninya..
1.    Melakukan ibadah di rumah.
Rasul menganjurkan untuk melakukan sholat sunnah di rumah. Karena dianggap sholat sunnah sebagai hak dari rumah. Dengan sholat sunnah dirumah, kita memiliki kesempatan untuk beribadah di rumah.
2.    Membaca Al Qur’an di rumah
Membaca Alqur’an berarti kita berdzikir kepada Allah, mengingat Allah. Dengan berdzikir di dalam rumah, kita menghidupkan rumah kita.
Demikian sharing saya semoga bermanfaat....

Rabu, 04 Februari 2015

Direktorat Keayahbundaan



Menyambut Gembira Direktorat Keayahbundaan

Salah satu tujuan menikah adalah memiliki anak. Memiliki anak, menjadikan setiap pasangan menjalani peran sebagai orang tua. Galau menjadi orangtua seringkali dialami oleh setiap pasangan yang merencanakan memiliki anak atau sedang menanti kehadiran anak. Sanggupkah mengasuh, mendidik dan mengantarkan ananda menjadi “seseorang” yang nantinya membanggakan orang tua.
Perjalanan hidup sebagai orang tua memang berliku. Banyak hal-hal yang kadang diluar perkiraan dan perencanaan yang terjadi dalam perjalanannya. Tidak jarang hal tersebut menjadi kendala dan kesulitan tersendiri bagi orang tua.
Membayangkan ketika anak memunculkan perilaku diluar kebiasaan atau norma, pasti berbagai macam reaksi muncul pada orang tua. Diantaranya malu, langsung mencegah atau memarahi bahkan ada yang langsung pergi bersama anaknya.
Memperlakukan anak memang membutuhkan seni tersendiri. Karena setiap anak lahir dengan karakter dan keunikan masing-masing. Meski mereka bersaudara atau kembar, masing-masing membutuhkan sentuhan pendidikan yang berbeda. Dan sekali lagi menjadi orang tua membutuhkan banyak tenaga dan kepedulian.
Keadaan ini memang bukan sepenuhnya kesalahan pasangan, namun sistem pendidikan yang ada selama ini kurang mempersiapkan seseorang menjalani profesi orang tua. Profesi orang tua dianggap sebagai sampingan dan masing-masing orang dituntut untuk mampu belajar secara otodidak ataupun secara tidak langsung mencontoh pola didik orang tuanya terdahulu.
Maka saya menyambut bahagia adanya direktorat keayahbundaan yang digagas Mendikbud saat ini. Wadah itu merupakan sarana resmi orang tua untuk belajar, sharing dan mengukur kemampuan dirinya menjadi orang tua yang ”tepat” bagi anaknya. Bahkan dalam angan-angan saya direktorat ini dapat bekerjasama dengan Rumah Sakit Bersalin, dalam rangka membekali calon-calon orang tua atau bahkan KUA, yang dapat membekali calon mempelai dengan menyiapkan secara psikologis para calon ayah dan bunda.
Sambil menunggu direktorat tersebut launcing, menurut beberapa referensi yang saya baca, saya menarik kesimpulan bahwa satu hal yang merupakan kunci untuk dapat tetap menjalani peran sebagai orang tua dengan nikmat adalah rasa syukur dan cinta. Syukur karena kita memiliki kesempatan untuk mendapatkan amanah dan kesempatan membuktikan peranan kita sebagai khalifah dimuka bumi. Dan cinta sebagai dasar kita untuk mengembangkan sikap sabar dalam menghadapi setiap tingkah ananda.
Tidak setiap yang menginginkan seorang anak mendapat kepercayaan dan ketika kita mendapat kepercayaan sebagai orang tua, esensinya adalah kita meyakini akan dimampukan oleh Yang Memberi dan Mempercayakan.
Mengutip tulisan pak Munif Chatib :” Menjadi orang tua..tidak hanya taqdir, namun seperti hadirnya sebuah kesempatan untuk membuktikan peranan kita dimuka bumi , meneruskan rencana ilahi, mewarnai anak-anak dengan cinta. Lalu biarkan siklus berputar sampai zaman ditamatkan”..mengingatkan saya untuk selalu bersyukur dan optimis bahwa setiap kesempatan, meski dengan resiko yang ada merupakan sarana pembelajaran bagi kita untuk menjadi insan yang lebih baik dan berguna.
Jadi...Jangan takut menjadi orang tua dan jangan pernah putus asa belajar menjadi orang tua yang ”tepat” untuk anak-anak kita....