Kamis, 27 November 2014

Mengisi liburan

                      Mengisi Liburan sebagai sarana Menemukan Bakat Anak

Allah Maha Adil, yang telah memberikan Bakat Dan minat kepada setiap hambaNya,ketika kelak anak kita Punya profesi yang bermanfaat buat banyak orang, itulah hasil Benih Bakat yang kita jaga-Munif Chatib

Liburan sebentar lagi, pasti sudah banyak rencana para orang tua untuk Mengisi liburan bersama ananda setelah penatnya mengikuti proses belajar dan ujian. Setidaknya kita Bisa Mengisi dengan acara yang bisa berkesan dan sebagai sarana untuk Menemukan dan menumbuhkan Bakat anak,agar nantinya anak menjadi segar menyongsong semester berikutnya.

Bakat adalah Suatu aktivitas yang berawal dari rasa ingin tahu,menimbulkan rasa suka, dilakukan berulang ulang Dan memiliki ciri-ciri :
1. Aktivitas yang disukai Dan tidak Bisa dibatasi
2. Bakat biasanya memunculkan banyak momen special
3. Merasa nyaman mempelajari aktivitas yang disukai
4. Bakat itu fast learner
5. Bakat terus menerus memunculkan minat untuk memenuhi kebutuhan anak
6. Bakat selalu mencari jalan keluar
7. Bakat menghasilkan Karya
8. Bakat membuat anak unjuk penampilan

Rasa suka anak terhadap sebuah aktivitas harus dipupuk. Ibarat tunas, rasa suka itu dapat tumbuh banyak sekali. Itulah bakat anak. Sayangnya banyak orang tua yang men cabut paksa tunas tunas tersebut. Dan tanpa sadar orang tua /rumah menjadi Mesin pembunuh Bakat anak. Diantaranya dengan :
1. Larangan melakukan aktivitas yang disukainya
2. Selalu menyebut anak dengan Sebutan negatif
3.Tidak memberikan kebebasan untuk berekspresi kepada anak
4. Hukuman yang tidak mendidik kepada anak
5. Tekanan anak terhadap prestasi di sekolahnya

Rabu, 26 November 2014

PERILAKU IMPULSIF PADA ANAK KORBAN PERCERAIAN ORANG TUA (BROKEN HOME)



GAMBARAN PERILAKU IMPULSIF PADA ANAK KORBAN PERCERAIAN ORANG TUA  (BROKEN HOME)


LATAR BELAKANG
            Keluarga merupakan lembaga terkecil dalam sistem sosial kemasyarakatan. Bagi anak, keluarga merupakan lembaga primer yang tidak dapat diganti dengan kelembagaan yang lain. Pada kenyataannya, tidak semua keluarga dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Ketidakselarasan harapan dan tujuan ayah (suami) dan ibu (istri) dapat memunculkan konflik-konflik. Konflik-konflik yang terjadi dan berkepanjangan seringkali berakhir pada perceraian.
            Perceraian merupakan kulminasi dari penyesuaian perkawinan yang buruk dan terjadi bila antara suami istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyesuaian perkawinan yang baik (Hurlock,1996). Dalam membangun suatu pernikahan yang harmonis, ternyata tidak semudah seperti yang dibayangkan. Tingginya angka perceraian yang terjadi sebagai salah satu bukti bahwa tidak semua pernikahan berjalan dengan lancar seperti yang diharapkan oleh setiap pasangan suami istri.
            Angka perceraian di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Jawa Timur sebagai salah satu propinsi yang menyumbang angka tertinggi, serta Surabaya sebagai kota kelima, akan menghadirkan jumlah anak yang tidak sedikit dengan keluarga yang tidak lengkap atau broken home.
            Cerai merupakan peristiwa yang traumatis bagi anak. Anak akan menghadapi kenyataan bahwa keluarganya tidak lagi utuh. Bahwa ayah dan ibunya tidak lagi bersama dan banyak hal yang berubah dari kehidupan anak sebelumnya. Hal itu akan membawa dampak psikologis bagi anak.
            Efek perceraian khususya sangat berpengaruh pada anak-anak dan keluarga. Pada umumnya anak yang orangtuanya bercerai atau menikah lagi merasa malu karena mereka merasa berbeda. Hal ini sangat merusak konsep pribadi anak, kecuali apabila mereka tinggal dalam lingkungan di mana sebagian besar dari teman bermainnya juga berasal dari keluarga yang telah bercerai atau menikah lagi. (Hurlock, 1996).
            Anak-anak dari keluarga yang bercerai menunjukkan penyesuaian yang lebih buruk dibanding teman-teman mereka dari keluarga yang tidak bercerai (Amato & Dorius, 2011). Konflik dalam perkawinan, mungkin memiliki konsekuensi negatif bagi anak-anak (Cummings & Merrilees, 2009). Efek perceraian pada anak-anak sangat kompleks, tergantung pada faktor-faktor seperti usia anak, kekuatan dan kelemahan anak pada saat perceraian, jenis ketahanan, status sosial ekonomi, dan fungsi keluarga saat perceraian (Ziol-Gust 2009)
Perceraian adalah salah satu dari banyak aspek konteks sosial anak-anak yang dapat memiliki efek mendalam pada kinerja anak di sekolah (Santrock,2014). Beberapa penelitian yang bertujuan untuk membandingkan kemampuan akademik dan intelektual anak-anak dari keluarga yang bercerai dan tidak, menemukan bahwa anak-anak korban perceraian memiliki IQ yang lebih rendah, skor tes kemampuan matematika dan membaca yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga utuh (tidak mengalami perceraian). (Kelly, 1993)
            Anak-anak korban perceraian mengalami prestasi akademik yang rendah, konsep diri yang rendah serta menurunnya motivasi berprestasi dikarenakan ia hidup dalam keluarga dengan perkawinan yang tidak membahagiakan. (Long, Forehand, Fauber, & Brody, 1987).
Pada beberapa penelitian yang lain, anak-anak pasca perceraian orang tuanya (khususnya laki-laki) akan berperilaku lebih agresif, menampakkan perilaku impulsif, and anti sosial. Disamping itu mereka akan memiliki kesulitan dalam membina hubungan dengan teman sebayanya, kehilangan figur otoritas dan menimbulkan banyak masalah perilaku di sekolah. (Kelly, 1993)
Penelitian tentang perkembangan anak korban perceraian mengatakan bahwa perceraian maupun koflik dalam perkawinan akan berpengaruh pada kondisi emosi dan perilaku anak dikarenakan proses modelling. Ketika mereka mengamati tekanan emosi, ekspresi kemarahan dari perilaku agresif dan tidak terkontrol dari orang tuanya ketika dalam konflik perkawinan, akan menjadi referensi bagi anak-anak dalam berperilaku. Maka beberapa perilaku-perilaku impulsif, agresif setelah proses perceraian merupakaan referensi bentuk perilaku anak dalam menyikapi suasana yang menekannya. (Kelly,1993 )
Respon agresif dan perilaku impulsif yang muncul pada anak-anak seringkali membawa konsekuensi tersendiri bagi mereka dalam penyesuaian dirinya, baik secara sosial maupun dalam pendidikannya. Secara sosial mereka akan dianggap sebagai anak yang berperilaku sesuai keinginan mereka, tanpa memperhatikan norma-norma sosial dan keinginan lingkungan sekitarnya. Dalam pendidikannya atau di dunia sekolah, mereka dianggap (dilabel) sebagai anak pengganggu (disruptive) dalam kegiatan belajar mengajar yang terjadi.
Anak dengan perilaku impulsif seringkali merusak aturan sosial teman sebayanya dan membuat masalah untuk menarik perhatian di sekolahnya. Mereka sebenarnya memahami aturan, namun tidak dapat menahan keinginannya. Secara logika mereka mengetahui bahwa akan menjadi baik jika menunggu, namun mereka lebih mendahulukan keinginan emosinya. (Tarullo, Obradovic, Gunnar, 2009).
Menurut Schaefer, Charles E dan Millman, Howard (1981) dalam bukunya How To Help Children with Common Problem, anak-anak dengan kecenderungan impulsif berprilaku spontan, secara tiba-tiba, penuh kekuatan, menarik-narik dan dengan cara yang tidak direncanakan. Konsekuensi dari perilaku - perilaku tadi tidak terlalu diperhatikan olehnya, terlepas dari kenyataan banyak anak-anak ini ketika ditanya mampu menggambarkan konsekuensi negatif yang mereka juga tidak menyukainya.
Pada suatu waktu respon yang diberikan sangat cepat dan tanpa dipikirkan, untuk memenuhi dorongan-dorongan mereka. Mereka biasanya tidak dapat menerima penundaan dari pemenuhan keinginan-keinginan mereka dan biasanya mereka tidak merencanakannya. Seringnya, reaksi awal mereka dalam sebuah situasi tampak kurang pantas.
            Perilaku impulsif biasanya mendasari perilaku agresif dan hal ini seringkali disebut perilaku kurang matang atau kurang memadai pada perkembangan moralnya. Anak-anak dengan perilaku impulsif ini seringkali terlibat dalam perkelahian dan perdebatan. Dan mereka seringkali digambarkan oleh sebayanya sebagai “anak nakal yang manja”, yang selalu menginginkan sesuatu menurut kehendak dan caranya sendiri. Kemampuan untuk menunda pemenuhan keinginannya sangat penting untuk perkembangan kepribadiannya serta penyesuaian sosialnya.
            Pada masa anak-anak akhir (usia Sekolah Dasar), menurut Havighusrt, anak-anak diharapkan mampu mengembangkan peran sosial secara tepat, mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosialnya serta mengembangkan hati nurani, pengertian moral, dan nilai lingkungan. (Hurlock, 1996). Hal ini sejalan dengan perkembangan psikosoial menurut papalia, dimana anak-anak tersebut diharapkan bisa memenuhi aturan dan ketetapan lingkungan sosialnya. (Papalia,2012)
            Namun, anak-anak korban perceraian dan memperlihatkan kecenderungan agresivitas dengan perilaku impulsifnya seringkali kurang dapat diterima di lingkungan sosialnya. Perilaku yang menonjolkan pemenuhan keinginannya, tidak mau menunggu, merebut, membuat gaduh, menarik-narik sesuatu, memanggil-manggil berulang, menyela pembicaraan dan lain sebagainya, akan membuatnya kurang diterima oleh lingkungan sosialnya. Ini akan menghambat pencapaian tugas-tugas perkembangan yang harus dicapainya.
            Pada kenyataannya, seringkali dijumpai oleh penulis terdapat beberapa anak yang memperlihatkan perilaku yang membuat orang dewasa sekitarnya melabel “tidak sopan” pada mereka. Setelah ditelusuri mereka berasal dari keluarga yang mengalami perceraian. Muncul pertanyaan yang diajukan pada penulis baik dari orangtuanya maupun dari orang-orang sekitarnya seperti guru, atau orang dewasa lainnya, apakah perceraian yang dialaminya memberikan pengaruh pada perubahan perilaku anak-anak tersebut.
Berdasarkan pengalaman penulis, serta penelitian-penelitian yang sudah dikemukakan, melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian mengenai perilaku impulsif pada anak korban perceraian orang tua (broken home).

FOKUS PENELITIAN
            Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : Bagaimana gambaran perilaku impulsif pada anak-anak dengan korban perceraian orang tua (broken home).
            Sub penelitian yang akan dibahas dalam penelitian ini ada dua, yang pertama adalah: (a) Bagaimana proses perceraian orang tuanya, apakah sebelum terjadinya perceraian muncul konflik-konflik yang melibatkan ekspresi kemarahan dari perilaku agresif yang tidak terkontrol dari orang tua. Sub permasalah kedua adalah (b) Bagaimana proses penanaman nilai-nilai kesopanan atau penahanan diri (self control) yang dilakukan orang tua setelah perceraian kepada anak-anak mereka.

SIGNIFIKANSI PENELITIAN
            Berikut ini adalah penelitian-penelitian yang memiliki signifikansi dengan penelitian yang sedang dilakukan oleh penulis, yaitu membahas mengenai dampak perceraian orang tua terhadap kondisi emosi anak dan perubahan perilakunya.
            Penelitian pertama berjudul Current Research On Children’s Postdivorce Adjustment – No Simple Answer,yang dilakukan Joan B. Kelly, membahas anak-anak yang menjadi korban perceraian orang tuanya. Secara kognitif, anak-anak yang mengalami trauma perceraian akan memiliki kemampuan IQ dan prestasi matematika yang lebih rendah dari teman sebayanya yang berasal dari keluarga utuh. Disamping itu, konflik perkawinan yang dialami orang tua sebelum bercerai akan memberikan pengaruh secara emosi dan perilaku kepada anak-anak tersebut. Perilaku agresif, impulsif orang tua yang diamati anak-anak selama periode konflik akan menjadi referensi perilaku bagi anak-anak tersebut dalam merespon lingkungannya.
            Penelitian yang dilakukan oleh Sofia Salmawati Alia, 2010 dari UIN Malik Ibrahim Malang tentang Dampak Perceraian Orang Tua Terhadap Emosi Anak di SDN Ketawanggede I Malang, yang membahas tentang ekspresi emosi anak-anak korban perceraian. Ekspresi emosi yang sering ditampilkan anak adalah ekspresi sedih dan marah. Ungkapan kesedihannya dengan menangis, dan ungkapan kemarahannya dengan bertindak kasar. Perkembangan emosinya akan terganggu. Disamping itu, anak korban perceraian mengalami hambatan dan kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
            Fransisca Nanik Indriani (2008), melakukan penelitian yang berjudul Dampak Psikologis Perceraian Orang Tua terhadap Anak. Dalam penelitian ini membahas tentang dampak perceraian pada anak adalah perubahan sikap maupun perilakunya. Adanya penyangkalan, rasa marah, rasa takut, kesedihan dan rasa malu merupakan dampak negatifnya. Sedangkan dampak positifnya adalah anak menjadi lebih mandiri dan merasakan kehidupan yang lebih indah.
            Penelitian berikutnya dilakukan oleh Amandar R Tarullo, Jelena Obradovic, Megan R.Gunnar (2009) tentang Self Control and Developing Brain yang membahas tentang kontrol diri pada anak-anak impulsif atau agresif yang tampak kurang dapat dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia tumbuh dan berkembang. Lingkungan yang tenang dan jauh dari konflik akan memudahkan anak belajar mengendalikan keinginan-keinginannya dan mau menunggu. Sedangkan anak dengan lingkungan yang penuh konflik akan mengalami kesulitan mengendalikan diri dan kemauannya.
            Dari keempat penelitian diatas, penelitian yang dilakukan Joan B. Kelly (1993) memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Kemiripan tersebut adalah mengkaji anak-anak yang menjadi korban perceraian orang tua. Kelly mengkaji semua dampak perceraian orang tua di Inggris bagi anak-anaknya. Namun pada penelitian ini peneliti lebih mengkhususkan pada perilaku impulsif yang tampak pada anak-anak korban perceraian. Dan peneliti membatasi pada anak-anak usia sekolah dasar (masa anak-anak akhir).
            Disamping itu penelitian yang dilakukan Sofia Salmawati Alia, 2010 juga memiliki kemiripan, selain usia subjeknya yang sama, sofia juga mengkhususkan meneliti dampak perceraian pada sisi ekspresi emosi. Namun perbedaannya adalah peneliti mengkhususkan pada perilaku impulsif anak-anak korban perceraian orang tua.

TUJUAN PENELITIAN
            Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran perilaku impulsif pada anak-anak korban perceraian (broken home).
            Sedangkan tujuan penelitian yang terkait dengan sub permasalahan penelitian adalah : (a) Mengetahui dan memahami konflik-konflik yang melibatkan ekspresi kemarahan dari perilaku agresif yang tidak terkontrol dari orang tua sebelum proses perceraian orang tua yang teramati oleh anak. Sehingga anak memiliki referensi perilaku impulsif dan agresif. Sedangkan untuk sub permasalah kedua adalah (b) Mengetahui proses penanaman nilai-nilai kesopanan atau penahanan diri (self control) yang dilakukan orang tua setelah perceraian kepada anak-anak mereka.

MANFAAT PENELITIAN
            Manfaat personal bagi peneliti ini adalah sebagai salah satu media pembelajaran untuk menerapkan ilmu yang telah didapatkan yaitu ilmu psikologi, serta memberikan pengalaman berharga kepada penulis tentang bagaimana melakukan penelitian ilmiah yang bersifat kualitatif.
            Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi positif dalam bidang keilmuan psikologi berupa pemahaman yang lebih mendalam mengenai perilaku impulsif pada anak-anak korban perceraian orang tua. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian untuk penelitian serupa yang mungkin dilaksanakan dimasa datang.
            Manfaat praktis dari penelitian ini adalah dapat memberikan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat pada umumnya, dan mahasiswa pada khususnya, mengenai perilaku impulsif pada anak-anak korban perceraian orang tua dan merencanakan perlakuan atas anak-anak tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Hurlock, Elizabeth B., (1996), Psikologi Perkembangan, Suatu Rentang Sepanjang Rentang Kehidupan, Erlangga, Jakarta
Kelly, Joan B (1993), Current Research On Children’s Postdivorce Adjustment – No Simple Answer, diakses pada 29 Oktober 2014 http://progetti unicatt.it/mainprojects_Research_children_postdivorce_adjustment.pdf
Mash, Erich J., Wolfe, David A. (2005), Abnormal Child Psychology 3rd edition, Woodsworth.
Moeller, F. Gerard MD, Barratt, Ernest S. Ph.D, Daugherty, Donald M Ph D, Joy M.Schmitz, Ph.D, Alan C. Swann,MD (2001), Psychiatric Aspect of Impulsivity, Am J Psychiatriy 2001; 158:1783-1793 diakses pada 20 Oktober 2014, 09.45 http://ajp psychiatryonline.org/data/Journals/AJP/3730/1783.pdf
Nanik, (2007) Penelusuran Karakteristik Hasil Tes Inteligensi WISC Pada Anak Dengan Gangguan Pemusatan Perhatian, Jurnal Psikologi UGM Vol. 34, No.1, 18-39, 2007, diakses 25 Oktober 2014, 14.15 http://journal.psikologi.ugm.ac.id/index.php/fpsi/article/view/76.
Nanik, Fransisca., (2008) Dampak Psikologis Perceraian Orang Tua Terhadap Anak, Skripsi., diakses 29 Oktober 2014, pada 20.15, http://eprints.unika.ac.id/1668/1/03.40.0005_Fransisca_Nanik_Indriani.pdf
Nigel Mellor,Dr, (2008), ADHD or Attention Seeking?Ways of Distinguishing Two Common Childhood Problems,paper presented to BPS/DECP annual conference, Bournemouth January
Papalia, D.E. dan Feldman, R.D., (2014). Menyelami Perkembangan Manusia Buku 1 (Experience Human Development 12th ed.) diterjemahkan oleh Fitriana Wuri Herarti. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Papalia, D.E. dan Feldman, R.D., (2014). Menyelami Perkembangan Manusia Buku 2 (Experience Human Development 12th ed.) diterjemahkan oleh Fitriana Wuri Herarti. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Santrock, John W., (2014). Psikologi Pendidikan Buku 1 (Educational Psychology, 3th ed.) diterjemahkan oleh Diana Angelica. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Schaefer, Charles E, dan Millman. Howard L.(1981),L How to Help Children with Common Problems, Van Nostrand Reinhold Company Inc. Newyork
Sofia Salmawati Alia, (2010), Dampak Perceraian Orangtua Terhadap Emosi Anak di SDN Ketawanggede I Malang, diakses pada 30 Oktober 2014, 20.15. http://lib.uin-malang.ac.id/?mod=th_detail&id=06410047
Tarullo, Amandar R., Obradovic, Jelena., Gunnar, Megan R., (2009), Self Control and Developing Brain, diakses 31 Oktober 2014, pada 09.00, http://web.stanford.edu/group/pdf/Tarullo,%20Gunar%20(2009,%200-3)Self-Control%20and%20the%20Developing%20brain,pdf.

.

Menghadapi UTS bersama-sama..



Menghadapi UTS bersama-sama..

Minggu-minggu ini  beberapa anak-anak kita sedang berjuang menghadapi UTS. Dan pastinya sebagai orang tua kita menginginkan anak-anak kita akan mencapai prestasi terbaiknya. Namun, terkadang keinginan orang tua yang kuat untuk mendorong anaknya belajar, menimbulkan sikap yang kurang bisa diterima anak-anak. Akibatnya, anak-anak merasa semakin tertekan dan kurang bisa belajar dengan nyaman.
Sebenarnya, apa yang perlu dilakukan orang tua untuk mengoptimalkan potensi belajar anak, sehingga anak menjadi siap untuk menghadapi UTS :
  1. Meyakinkan diri bahwa anak-anak kita mampu
Setiap anak luar biasa dan memiliki potensi menjadi manusia sukses kelak. Dan setiap anak mempunyai gaya belajar yang berbeda. (Auditory, visual dan kinestetik). Setiap orang tua harus menyadari bahwa dengan multiple intelligence yang dimiliki anak-anak, insyaallah anak kita akan unggul pada satu bidang tertentu.
  1. Mempersiapkan suasana yang nyaman untuk belajar
Suasana ruangan yang tenang, rapi, penerangan yang cukup dan udara yang bersih tentu saja menjadikan anak-anak nyaman untuk membaca atau melatih diri dengan soal-soal yang ada. Sebagai orang tua, kita juga harus menghormati anak-anak kita yang sedang berjuang dengan berempati pada suasana belajar tersebut. Intinya suasana belajar positif harus dibangun bersama-sama.
Untuk anak-anak yang sudah dapat diajak berkomunikasi dan bernegosasi, sebaiknya kita membuat kesepakatan kegiatan belajar yang bagaimana yang ia sukai dan mengurangi distraksi-distraksi yang ada, mis. Nonton tv, ngegame, bermain di luar dan lain sebagainya.
  1. Tidak memberikan tekanan atau labelling
Melakukan pendampingan yang lembut pasti lebih disukai anak-anak. Tekanan yang berlebih untuk anak kita, misalnya dengan selalu mengingatkan tentang momentum ujian, akan membuat anak tidak nyaman secara emosi. Anak akan memiliki pemikiran bahwa UTS adalah sebuah medan perang yang menakutkan (terbebani).  Dan tentu saja ini berdampak pada kesiapan belajarnya.
Labelling merupakan hal yang harus dihindari oleh orangtua.

  1. Memotivasi dengan kalimat positif
Kalimat positif berefek luar biasa pada anak kita. Dan ini akan menguatkannya ketika ia menghadapi situasi yang menurutnya berat.
  1. Mendoakan dengan tulus dan berpasrah
Apabila kita sudah mengupayakan yang terbaik untuk anak-anak kita, maka berikutnya yang terpenting adalah mengajak anak kita berpasrah pada ket

Anak Tangguh, Semakin Langka?



Anak Tangguh, Semakin Langka?

Heboh berita konflik Marshanda dengan ibundanya juga diagnosa bipolar disorder atasnya, tentu saja cukup menyita perhatian kita. Marshanda yang sebelumnya menginspirasi banyak orang dengan motivartisnya, saat ini sedang mengalami hal hal yang cukup memprihatinkan bagi sebagian orang. Namun demikian banyak pelajaran yang bisa dipetik oleh kita sebagai insan maupun yang sudah berperan sebagai orang tua.

Apa sih bipolar disorder?. Bipolar disorder adalah suatu gangguan psikologi yang mengacu pada perubahan suasana hati ekstrim berupa (kesedihan) depresi dan  (kebehagiaan) mania. Penderita bipolar memiliki mood swings yang ekstrim yaitu pola perasaan yang berubah drastis. Sebenarnya bipolar disorder merupakan salah satu fase perubahan mental yang dialami seseorang ketika menghadapi permasalahan yang menurutnya berat dari yang sebelumnya sehat sampai nantinya mengalami psikotik.

Tanda dan gejala bipolar disorder ada beberapa, diantaranya :
  1. Suasana hati yang murung dan sedih yang berkepanjangan
  2. Sering menangis atau ingin menangis tanpa alas an yang jelas
  3. Kehilangan minat untuk melakukan sesuatu
  4. Tidak mampu merasakan kegembiraan
  5. Mudah letih, kurang bergairah, tidak bertenaga
  6. Sulit berkonsentrasi
  7. Merasa tidak berguna dan putus asa
  8. Merasa berdosa dan bersalah
  9. Rendah diri atau kurang percaya diri
  10. Pesimis
  11. Berpikir untuk bunuh diri
  12. Hilang nafsu makan atau memiliki nafsu makan berlebih
  13. penurunan berat badan atau penambahan berat badan
  14. Sulit tidur atau tidur berlebihan
  15. Mual, susah bab atau diare
  16. Menghindari komunikasi dengan orang lain.

Penyebab gangguan ini al.
  1. Genetik ( Neurochemistry & Neoroendokrin)
  2. Lingkungan (Stress,penyalahgunaan zat,obat-obatan tertentu , musim dan kurang tidur)

Penyebab bipolar disorder  tidak tunggal genetik tapi selalu ada pemicu yaitu permasalahan permasalahan hidup terkait dengan hubungan sosial atau kegagalan pencapaian tujuan tujuan. Disamping itu kejadian masa kecil yang kurang menyenangkan juga bisa memicu munculnya bipolar disorder.

Sebagai orang tua, disinilah peran kita yaitu menyiapkan anak anak yang tangguh dari rumah dan keluarga sehingga mereka siap menghadapi persoalan apapun. Tidak mudah galau dan putus asa menghadapi kegagalan.

Bagaimana caranya :
  1. Mengenalkan konsep keimanan sejak awal. Bahwa segala sesuatu yang terjadi tidak pernah sia sia dan tidak akan pernah luput dari keputusan terbaik Allah untuk kita. Tentu saja hal ini diimbangi dengan kegiatan ubudiyah (spiritual) yang sifatnya rutin dan membangun tanggung jawab beribadah.
  2. Membebaskan anak terus bereksplorasi baik itu pada ranah pengetahuan maupun minat keahlian, dengan begitu anak akan belajar memilih dan konsekwen terhadap pilihannya
  3. Memenuhi kebutuhan emosi anak. Anak selalu butuh diperhatikan, dimotivasi dan diarahkan dengan penuh kasih sayang. Orang tua sebagai guru awal mereka belajar berekspresi secara emosi, maka sebisa mungkin orang tua selalu bereaksi positif terhadap apapun ekspresi emosi anak.
  4. Membangun komunikasi yang intens dan menyenangkan sehingga anak bisa terus terbuka terhadap persoalan yang dihadapinya dan juga bisa bebas mengekspresikan reaksi terhadap permasalahan yang dihadapinya.

Sekali lagi, keluarga adalah kunci awal seorang anak berkembang optimal sesuai fasenya, maka dibutuhkan keharmonisan serta kekompakan dalam membangun keluarga untuk nantinya dapat menghasilkan generasi generasi tangguh.

Anak dan Bermain



BERMAIN SEBAGAI SALAH SATU KEBUTUHAN ANAK


Anak anak identik dengan bermain. Dan seringkali kita para orang tua belum sepenuhnya memahami bahwa dalam bermain anak akan mendapatkan banyak hal. Orang tua seringkali gusar (galau) ketika anak anaknya seharian bermain atau tidak mau berhenti ketika bermain. Padahal dalam bermain anak mendapatkan banyak manfaat. Dan yang perlu kita sadari adalah, bermain merupakan salah satu kebutuhan utama bagi anak.

Apa itu bermain?
Bermain adalah suatu aktivitas yang langsung, spontan di mana seorang anak akan berinteraksi dengan orang lain,benda benda disekitarnya,dilakukan dengan senang (gembira), atas inisiatif sendiri, menggunakan daya khayal (imaginatif), menggunakan panca indra, dan seluruh anggota tubuhnya. Saat bermain semua indra anak bekerja aktif. Sehingga setiap informasi yang ditangkap merupakan rangsangan tersendiri bagi perkembangan anak.

Sebenarnya apa saja manfaat bermain ?
  1. Perkembangan Fisik
·         Saat bermain, anak akan bergerak dan ini berpengaruh pada kesehatan fisiknya secara keseluruhan
·         Perkembangan ototnya juga menjadi kuat
·         Bermain merupakan sarana untuk menyalurkan energi
·         Bermain membuat anak anak yang masih pra sekolah menjadi aktif
  1. Perkembangan Emosi dan kepribadian
    • Bermain adalah suatu aktivitas yang dapat melepaskan ketegangan
    • Saat bermain, seorang anak dapat mengembangkan keterempilan keterampilan mengekspresikan emosi dan bersosialisasi, mis, empati
  2. Perkembangan Sosial
    • Dengan bermain merupakan anak bisa berlatih mandiri dan berpisah dengan figur lekatnya selama ini.

Kekhilafan Dalam Mendidik Anak



KEKHILAFAN DALAM MENDIDIK ANAK

Menjadi orang tua tidak hanya sebagai taqdir, namun seperti hadirnya sebuah kesempatan untuk membuktikan peranan kita dimuka bumi,meneruskan rencana ilahi,mewarnai anak-anak dengan cinta. Lalu, biarkan siklus berputar sampai zaman menamatkan. – Munif Chatib
Sebagai orang tua, pastilah secara fitrah kita menginginkan anak anak kita menjadi anak yang baik dan sukses. Sebagaimana doa yang sering di ajarkan dan tidak asing bagi keluarga muslim yaitu : “Robbana hablana min azwajinaa wa dzurriyyatina qurrota a’yun ..”
Yang artinya : Ya Robb, karuniakan kepada kami pasangan dan anak anak yang bisa menyenangkan dan menyejukkan pandangan kami…” dan tentulah hal ini menjadi cita cita setiap orang tua.
Maka sebagai orang tua, kita memiliki tanggung jawab untuk mendidik dan mengarahkan anak anak kita menjadi anak anak yang sholih dan sukses dalam kehidupannya nantinya.
Belajar dan belajar menjadi orang tua yang baik memang membutuhkan semangat dan effort yang tidak sedikit. Namun itulah konsekwensi yang harus dihadapi orang tua karena anak adalah amanah.
Berikut ini beberapa hal yang bisa menjadikan proses pembimbingan anak dalam sebuah keluarga kurang tepat. Kami menyebutnya sebagai kekhilafan orang tua dalam mendidik anak :
  1. Membiarkan Pelanggaran
·         Tidak menepati janji
·         Melanggar peraturan yang dibuat sendiri
·         Ayah dan ibu tidak kompak
Dampak :
Anak akan sangat pandai meniru orang tuanya yakni TIDAK KONSISTEN

  1. Kurang memiliki kontrol emosi yang Baik
    • Membentak, memaki dengan kata kata kasar
    • Memukul anak
    • Marah untuk melampiaskan emosi
Dampak :
Anak tumbuh tidak percaya diri, menjadi pribadi yang ragu ragu, anak merasa Tidak dicintai

  1. Terlalu melindungi (over Protective)
·         Anak tidak mempunyai kesempatan melakukan hal-hal baru
·         Terlalu BANYAK LARANGAN
Dampak :
Traumatik, Tidak kreatif, kurangnya pengalaman kurang menyenangkan, kurang memiliki semangat berjuang

  1. Cara komunikasi yang kurang baik
·         Memaksakan komunikasi gaya orang tua
·         Komunikasi hanya verbal, tidak memperhatikan unsur lain (sentuhan, visual, intonasi, vocal,dll)
·         Komunikasi hanya satu arah
Dampak :
Anak tidak memahami gagasan oaring tua
Anak merasa pendapatnya tidak dihargai
Anak merasa tidak dipahami

  1. Tidak memahami cara memotivasi anak
·         Memotivasi anak dengan hal-hal yang menakutkan
·         Memotivasi anak dengan hal hal yang memalukan
·         Memotivasi anak dengan membandingkan
Dampak :
Trauma / Phobia, Tidak percaya diri

Validitas dan Reliabilitas



VALIDITAS DAN RELIABILITAS

Validitas dan reliabilitas menjadi bahasan utama dalam setiap pengukuran dalam penelitian. Keduanya berfokus bagaimana menciptakan pengukuran yang terhubung dengan konstruk yang diukur. Reliabilitas dan validitas menjadi hal yang sangat penting karena konstruk pada teori sosial seringkali ambigu, membingungkan dan sering kali tidak dapat secara langsung teramati. Semua peneliti sosial ingin pengukuran yang mereka lakukan memiliki validitas dan reliabilitas yang baik, lantas apa yang dimaksud validitas dan reliabilitas ? dan bagaimana, apa, kapan mereka berfungsi dengan baik? Berikut ulasan beberapa pertanyaan yang mungkin dapat sedikit membantu kita untuk dapat memahami validitas dan reliabilitas.

1.      Apakah fungsi Pengukuran Psikologi ?
Hasil-hasil yang diperoleh dalam pengukuran psikologis berfungsi sebagai dasar dalam mengambil keputusan. Berdasarkan atas keputusan yang akan diambil dalam pengukuran psikologis. Fungsi pengukuran psikologis antara lain : 
a)      Fungsi seleksi, yaitu untuk memutuskan individu-individu yang akan dipilih. Misalnya tes masuk untuk suatu lembaga pendidikan atau tes seleksi untuk suatu jenis jabatan tertentu. 
b)     Fungsi klasifikasi, yaitu mengelompok-mengelompokkan inidvidu dalam kelompok sejenis. Misalnya mengelompokkan siswa yang mempunyai masalah yang sejenis sehingga dapat diberikan bantuan yang sesuai masalahnya. Atau mengelompokkan siswa ke program yang khusus tertentu. 
c)      Fungsi deskripsi, yaitu menyuguhkan hasil pengukuran psikologis yang telah dilkukan tanpa kalsifikasi tertentu. Misalnya melaporkan profile minat seseorang yang telah dites dengan tes minat. 
d)     Mengevaluasi suatu treatment, yaitu untuk mengetahui apakah suatu tindakan tertentu yang telah dilakukan terhadap seseorang atau kelompok individu telah mencapai hasil atau belum. Misalnya seorang siswa yang mengalami kesulitan belajar diberikan remidial tersebut lalu diadakan tes untuk mengetahui apakah remidial yang diberikan sudah berhasil atau belum. 
e)      Menguji suatu hipotesis, yaitu untuk mengetahui apakah hipotesis yang dikemukakan itu betul atau salah. Misalnya seorang peniliti mengemukakan hipotesis sebagai berikut : makin terang lampu yang digunakan untuk belajar makin baik prestasi belajar yang akan dicapai.
2.      Who?
Tokoh pertama yang mendefinisikan reliabilitas adalah Spearmen-Brown (Setyawan, 2011)

3.      Apa yang dimaksud dengan validitas dan reliabilitas?
Reliabilitas
·         Reliabilitas berarti keandalan atau konsistensi. Hal ini menunjukkan bahwa pengukuran atribut yang sama diulang akan memberikan hasil kondisi yang identik atau sangat mirip. Reliabilitas dalam penelitian kuantitatif menunjukkan bahwa hasil numerik yang dihasilkan oleh suatu indikator tidak berbeda karena karakteristik dari proses pengukuran atau instrumen pengukuran itu sendiri. Kebalikan dari reliabilitas adalah pengukuran yang memberikan hasil yang tidak menentu, tidak stabil, atau tidak konsisten (Neuman, 2007).
·         Menurut Anastasi dan Urbina (1998) reliabilitas merujuk pada konsistensi skor yang dicapai oleh orang yang sama ketika mereka diuji-ulang dengan tes yang sama pada kesempatan yang berbeda, atau dengan seperangkat butir-butir ekuivalen yang berbeda, ataupun dibawah kondisi pengujian yang berbeda.
·         Reliabilitas berasal dari kata reliability yang berarti sejauh mana hasil suatu pengukuran memiliki keterpercayaan, keterandalan, keajegan, konsistensi, kestabilan yang dapat dipercaya. Hasil ukur dapat dipercaya apabiladalam beberapakali pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama (Azwar, 2011).
Validitas
·         Validitas menunjukkan keadaan yang sebenarnya dan mengacu pada kesesuaian antara konstruk, atau cara seorang peneliti mengkonseptualisasikan ide dalam definisi konseptual dan suatu ukuran. Hal ini mengacu pada seberapa baik ide tentang realitas "sesuai" dengan realitas aktual. Dalam istilah sederhana, validitas membahas pertanyaan mengenai seberapa baik realitas sosial yang diukur melalui penelitian sesuai dengan konstruk yang peneliti gunakan untuk memahaminya (Neuman, 2007).
·         Validitas yaitu mengenai apa dan seberapa baik suatu alat tes dapat mengukur, sedangkan reliabilitas merujuk pada konsistensi skor yang dicapai oleh orang yang sama ketika diuji berulang kali dengan tes yang sama pada kesempatan yang berbeda, atau dengan seperangkat butir-butir ekuivalen (equivalent items) yang berbeda, atau dibawa kondisi pengujian yang berbeda (Anastasi & Urbina, 1998).
·         Azwar (1987, dalam Widodo, 2006) menyatakan bahwa validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu instrumen pengukur (tes) dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukur secara tepat atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Artinya hasil ukur dari pengukuran tersebut merupakan besaran yang mencerminkan secara tepat fakta atau keadaan sesungguhnya dari apa yang diukur.
·         Suryabrata (2000, dalam Widodo, 2006) menyatakan bahwa validitas tes pada dasarnya menunjuk kepada derajat fungsi pengukurnya suatu tes, atau derajat kecermatan ukurnya sesuatu tes. Validitas suatu tes mempermasalahkan apakah tes tersebut benar-benar mengukur apa yang hendak diukur. Maksudnya adalah seberapa jauh suatu tes mampu mengungkapkan dengan tepat ciri atau keadaan yang sesungguhnya dari obyek ukur, akan tergantung dari tingkat validitas tes yang bersangkutan.
·         Sudjana (2004, dalam Widodo, 2006) menyatakan bahwa validitas berkenaan dengan ketepatan alat penilaian terhadap konsep yang dinilai sehingga betul-betul menilai apa yang seharusnya dinilai.
·         Validitas berasal dari kata validity yang berarti sejauhmana ketepatan dan kecermatan pengukur (tes) dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 2011).

4.      Mengapa kita perlu validitas dan reliabilitas?
·         Validitas   digunakan sebagai pengembangan dan pengevaluasian suatu tes.
·         Reliabilitas digunakan sebagai indikator dalam mempercayai nilai dari suatu tes karena memiliki konsistensi (Jacobs, 1991).

5.      Berapa macam/jenis validitas dan reliabilitas dalam riset atau alat ukur? Reliabilitas
Jenis-jenis reliabilitas antara lain (Sugiyono, 2004):
a.       Reliabilitas tes-retes; yaitu dengan mengulang tes yang sama pada kesempatan kedua.
b.      Reliabilitas bentuk alternatif; yaitu melalui penggunaan bentuk-bentuk tes lainnya.
c.       Reliabilitas belah-separuh (split-half reliability); dimana skor yang diperoleh untuk tiap individu diperoleh dengan membagi tes melalui berbagai prosedur belah-separuh.
d.      Reliabilitas Kuder-Richardson dan Koefisien Alpha; yaitu dengan menggunakan administrasi tunggal dari suatu bentuk tunggal didasarkan pada konsistensi respons terhadap semua butir soal dalam tes yang dipengaruhi oleh dua sumber varian kesalahan.

Jenis reliabilitas terdiri dari 2, antara lain:
-          Reliabilitas konsistensi tanggapan: responden mempersoalkan apakah tanggapan responden atau obyek ukur terhadap tes atau instrumen tersebut sudah baik atau konsisten. Dalam hal ini apabila suatu tes atau instrumen digunakan untuk melakukan pengukuran terhadap obyek ukur kemudian dilakukan pengukuran kembali terhadap obyek ukur yang sama, apakah hasilnya masih tetap sama dengan pengukuran sebelumnya.
-          Reliabilitas konsistensi gabungan butir: berkaitan dengan kemantapan antara butir suatu tes. Dengan kata lain bahwa terhadap bagian obyek ukur yang sama, apakah hasil ukur butir yang satu tidak kontradiksi dengan hasil ukur butir yang lain (Djaali, 2000, dalam Matondang, 2009).

Validitas
Jenis-jenis validitas yaitu sebagai berikut (Sugiyono, 2004):
a.      Validitas konstruksi (construct validity); dengan menggunakan pendapat dari ahli (experts judgment)
b.      Validitas isi (content validity); dilakukan dengan membandingkan antara isi instrument dengan materi pelajaran yang telah diajarkan.
c.       Validitas eksternal; dengan cara membandingkanguna mencari kesamaan anatar criteria yang ada pada instrument dengan fakta-fakta empiris yang terjadi di lapangan.

Menurut Neuman (2007), terdapat tiga jenis validitas pengukuran, antara lain:
a.      Face validity. Ini merupakan validitas yang paling mudah untuk dicapai dan sebagian besar jenis dasar dari validitas adalah face validity. Hal ini memerlukan pertimbangan dari komunitas ilmiah bahwa indikator benar-benar dapat digunakan untuk mengukur suatu konstruk. Kesesuaian antara definisi dan metode pengukuran yang digunakan merujuk pada pertimbangan dari suatu konsensus komunitas ilmiah atau penilaian dari orang lain.
b.      Content vatidity. Validitas ini membahas mengenai definisi konseptual yang berisi ide-ide dan konsep dapat direpresentasikan dalam suatu pengukuran. Validitas isi melibatkan tiga langkah. Pertama, menentukan definisi konstruk dari seluruh konten. Selanjutnya, ambil sampel dari semua bidang definisi. Kemudian, mengembangkan indikator yang mewakili semua bagian dari definisi.
c.       Validitas Kriteria. Validitas kriteria menggunakan beberapa standar atau kriteria untuk mengindikasi konstruk secara akurat. Validitas dari indikator diverifikasi dengan cara membandingkannya dengan ukuran lain dari konstruk yang sama yang diterima secara luas. Ada dua subtipe dari jenis validitas kriteria, yaitu:
(1)    Validitas konkuren. Indikator harus dikaitkan dengan indikator yang sudah ada sebelumnya dan dinilai sebagai valid (misalnya, telah memiliki face validity).
(2)   Validitas prediktif. Validitas kriteria dimana indikator memprediksi kejadian masa depan yang logis terkait dengan suatu konstruk. Hal ini tidak dapat digunakan untuk semua ukuran. Ukuran dan tindakan yang diprediksi harus berbeda, tetapi dapat menunjukkan konstruk yang sama. Validitas pengukuran prediktif tidak perlu dibingungkan dengan prediksi dalam pengujian hipotesis, di mana satu variabel memprediksi variabel yang berbeda di masa depan.



Jenis validitas terdiri dari 3 yaitu:
-          Validitas isi: menunjukkan sejauh mana aitem-aitem dalam tes mencakup keseluruhan kawasan isi yang hendak diukur oleh tes tersebut.
-          Validitas konstruk: menunjukkan sejauh mana suatu tes mengukur trait atau konstruk teoretik yang hendak diukurnya.
-          Validitas kriteria: bukti validitasnya diperlihatkan dengan adanya hubungan skor pada tesyang bersangkutan dengan skor suatu kriteria (contoh: analisis korelasional) (Azwar, 2011).

Validitas isi, kriteria dan konstrak. Ada lima sumber dasar teori dalam validitas konstrak, yaitu isi, proses respon, struktur internal, hubungan terhadap variabel lain, dan akibat. Berikut ini akan diuraikan satu per satu. Konten: melihat hubungan antara isi pengukuran dengan konstrak ingin diukur. Disini perlu dilihat definisi, tujuan alat ukur, proses dalam mengembangkan dan memilih aitem, kata-kata dari setiap aitem, dan kualifikasi penulis. Bukti konten biasanya menyajikan langkah-langkah terperinci untuk memastikan bahwa alat ukur tersebut telah mewakili konstrak yang akan dikur (Cook&Beckman,2006). Proses respon yaitu bagaimana pola pikir penulis terhadap pengukuran yang dilakukan, metode dan keamanan data yang digunakan dalam pengukuran dan pelaporan juga termasuk dalam kategori ini. Strutur internal melihat hubungan antara aitem tes dengan tes yang digunakan untu mengukur konstrak, yaitu apakah aitem-aitem yang penting mungkin dapat memiliki fungsi yang berbeda pada sekelompo responden. Hal ini bermanfaat apabila responden secara kategorial memiliki kesamaan, sehingga aitem tes ini diharapkan dapat menunjukkan perbedaannya dari masing-masing responden. Hubungannya dengan variabel yang lain: melihat hubungan skor tes dengan pengukuran lain dengan konstrak yang sama.

6.     Bagaimana cara mengukur validitas dan reliabilitas?
Reliabilitas
        Pengujian reliabilitas instrumen dapat dilakukan secara internal dan eksternal (Sugiyono, 2010). Secara internal, reliabilitas dapat diuji dengan menganalisis konsistensi butir-butir yang ada pada instrumen dengan teknik internal consistency. Hal ini dilakukan dengan cara mengujicobakan instrumen sekali saja, kemudian data yang diperoleh dianalisis dengan teknik belah dua dari Spearman Brown (Split Half), KR-20, KR-21, dan Anova Hyot (Analisis Varians).
        Secara eksternal, pengujian dapat dilakukan dengan cara berikut:
a.      Test-retest. Pengujian test-retest dilakukan dengan cara mencobakan instrumen yang sama beberapa kali pada responden yang sama, namun dilakukan dalam waktu yang berbeda. Reliabilitas diukur dari koefisien korelasi antara percobaan pertama dengan yang berikutnya. Bila koefisien korelasi positif dan signifikan maka instrumen tersebut sudah dinyatakan reliabel.
b.      Equvalent. Pengujian dengan cara ini cukup dilakukan sekali, namun menggunakan dua instrumen yang berbeda, pada responden yang sama, dan waktu yang sama. Reliabilitas dihitung dengan cara mengkorelasikan antara data instrumen yang satu dengan data instrumen yang dijadikan equivalent.
c.       Gabungan. Pengujian dilakukan dengan cara mencobakan dua instrumen yang equivalent beberapa kali kepada responden yang sama. Reliabilitas diukur dengan mengkorelasikan dua instrumen, kemudian dikorelasikan pada pengujian kedua, dan selanjutnya dikorelasikan secara silang.

Menurut Jacobs (1991), analisa reliabilitas dapat diukur dengan tiga cara yaitu BEST digitek test scoring, Spearman Brown, dan Kuder-Richarson 20. Spearman Brown mengukur konsistensi pengambilan aitem. Sedangkan KR-20 mengukur konsistensi jawaban terhadap semua aitem dan menunjukkan dua sumber kesalahan, yaitu: pemilihan aitem dan heterogenitas dari sampel. Reliabilitas juga dapat dijelaskan dengan standar eror pengukuran, yaitu memperkirakan seberapa besar perubahan nilai individu ketika dilakukan pengulangan tes. Apabila reliabilitas nilai tes tinggi, maka standar eror pengukuran tersebut rendah.

Validitas
Cara pengujian validitas sebagai berikut (Sugiyono, 2010):
a.    Pengujian validitas konstruk
Pengujian validitas konstruk dapat menggunakan pendapat para ahli mengenai aspek yang akan diukur. Kemudian dilakukan ujicoba instrumen pada sampel dari populasi yang akan digunakan. Setelah data ditabulasikan, maka pengujian validitas konstruk dilakukan dengan analisis faktor, yaitu dengan mengkorelasikan antar skor item instrumen dalam suatu faktor, dan mengkorelasikan skor faktor dengan skor total. Pengujian validitas seluruh butir instrumen dalam satu variabel dapat juga dilakukan dengan cara mencari daya pembeda skor tiap aitem dari kelompok yang memberikan jawaban tinggi dan jawaban rendah. Pengujian analisis daya pembeda dapat menggunakan t-test.
b.    Pengujian validitas isi
Untuk instrumen yang berbentuk tes, pengujian validitas isi dilakukan dengan membandingkan antara isi instrumen dengan materi pelajaran yang telah diajarkan. Di sisi lain, pengujian validitas isi dari instrumen yang akan mengukur efektivitas pelaksanaan program, dapat dilakukan dengan membandingkan antara isi instrumen dengan isi atau rancangan yang telah ditetapkan. Untuk menguji validitas butir-butir instrumen lebih lanjut, maka setelah dikonsultasikan kepada para ahli, selanjutnya diujicobakan, dan dilakukan analisis aitem atau uji beda.
c.     Pengujian validitas eksternal
Penngujian ini dilakukan dengan cara membandingkan (untuk mencari kesamaan) antara kriteria yang ada pada instrumen dengan fakta-fakta empiris yang terjadi di lapangan. Bila terdapat kesamaan, maka dapat dinyatakan instrumen tersebut memiliki validitas eksternal yang tinggi.

7.      Bagaimana cara mengembangkan validitas dan reliabilitas sesuai dengan kebutuhan?
Untuk menggunakan validitas yang diinginkan terlebih dahulu mencari referensi mengenai teori pengukuran yang akan dipakai, dengan demikian dapat diketahui pengukuran yang akan digunakan sehingga dapat menghasilkan suatu validitas nantinya (Cook&Beckman, 2006). Selain teknik korelasi, pada reliabilitas juga berkembang analisis varians skor dan analisis varians eror (Azwar, 2011).

8.     Kapan validitas dan reliabilitas berfungsi/berlaku dan kapan tidak berfungsi?
Reliabilitas
Jika terhadap bagian obyek ukur yang sama, hasil ukur melalui butir yang satu tidak konsisten dengan hasil ukur melalui butir yang lain maka pengukuran dengan tes (alat ukur) sebagai suatu kesatuan itu tidak dapat dipercaya. Dengan kata lain, alat ukur tidak reliabel dan tidak dapat digunakan untuk mengungkap ciri atau keadaan yang sesungguhnya dari obyek ukur. Kalau hasil pengukuran pada bagian obyek ukur yang sama antara butir yang satu dengan butir yang lain saling kontradiksi atau tidak konsisten maka kita tidak bisa menyalahkan obyek ukur, melainkan alat ukur (tes) yang dipersalahkan dengan mengatakan bahwa tes tersebut tidak reliabel terhadap obyek yang diukur (Sugiyono, 2010).

Validitas
Ketika peneliti mengatakan bahwa suatu indikator itu valid, maka itu valid untuk tujuan dan definisi tertentu. Indikator yang sama bisa valid untuk satu tujuan (misal pertanyaan penelitian dengan unit analisis atau secara umum), tetapi bisa kurang valid atau tidak valid untuk hal yang lainnya. Misalnya dalam mengukur prejudice, bisa valid untuk mengukur prejudice para guru, tapi bisa jadi tidak valid untuk digunakan dalam mengukur prejudice dari para polisi. Tidak adanya validitas terjadi jika tidak terdapat kesesuaian atau kesesuaian yang rendah antara konstruk yang digunakan untuk menggambarkan, membuat teori atau menganalisis dunia sosial dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam dunia sosial (Neuman, 2007).

9.     Apabila butuh validitas dan reliabilitas, dinaikkan sampai berapa. Kalau tidak butuh, diturunkan sampai berapa?
Reliabilitas: memperbanyak jumlah aitem, biasanya dalam soal pilihan ganda terdapat 40 soal, berhati-hati dalam menyusun aitem yaitu memperjelas maksud dari pertanyaan, perencanaan waktu dalam pelaksanaan tes karena pengisian yang terburu-buru di akhir waktu bukanlah tes yang reliabel, dan prosedur tes hendaknya ditulis dengan kalimat yang jelas (Jacobs, 1991).

10.  Apa perbedaan hasil penelitian yang valid dan reliabel dengan instrumen yang valid dan reliabel?
Hasil penelitian yang valid bila terdapat kesamaan antara data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti, sedangkan hasil penelitian yang reliabel bila terdapat kesamaan data dalam waktu yang berbeda.
Di sisi lain, instrumen yang valid berarti instrumen yang digunakan untuk mendapatkan data bisa mengukur apa yang seharusnya diukur, sedangkan instrumen yang reliabel adalah instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur objek yang sama dapat menghasilkan data yang sama (Sugiyono, 2010).

11.  Bagaimana cara meningkatkan reliabilitas pengukuran?
Ada empat cara untuk meningkatkan reliabilitas pengukuran: (1) mengonseptualisasi semua konstruk secara jelas, (2) menggunakan level pengukuran yang tepat, (3) menggunakan beberapa indikator dari suatu variabel, dan (4) menggunakan pilot-tets (pretests, pilot studies, dan replikasi) (Neuman, 2007).

12.  Bagaimana cara meningkatkan validitas eksternal penelitian?
Dengan cara meningkatkan validitas eksternal dari instrumen dan memperbesar jumlah sampel (Sugiyono, 2010).

13.  Bagaimana hubungan antara validitas dan reliabilitas?
Reliabilitas diperlukan untuk pengujian validitas dan lebih mudah untuk dicapai daripada validitas. Meskipun reliabilitas diperlukan untuk memiliki ukuran yang valid dari suatu konsep, hal itu tidak menjamin ukuran tersebut bisa berlaku. Suatu ukuran yang reliabel atau dapat menghasilkan hasil yang sama berulang-ulang, namun belum tentu valid atau mungkin hasil pengukuran tidak cocok dengan definisi konstruk. Validitas dan reliabilitas merupakan konsep yang saling melengkapi, namun dalam beberapa situasi mereka bertentangan satu sama lain. Kadang-kadang, validitas meningkat namun reliabilitas lebih sulit dicapai, atau sebaliknya. Hal ini terjadi ketika memiliki definisi konstruk yang sangat abstrak dan tidak mudah diamati. Reliabilitas paling mudah dicapai ketika ukuran secara tepat dan dapat diamati. Dengan demikian, ada pertentangan antara esensi sebenarnya dari konstruk yang sangat abstrak dan mengukurnya secara konkret (Neuman, 2007).

14.  Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi reliabilitas?
a)    Pemilihan aitem. Tes merupakan pemilihan aitem-aitem yang digunakan untuk mengukur suatu konstrak, dengan demikian pemilihan aitem tersebut dapat menjadi sumber kesalahan dalam pelaksanaan tes. Untuk meningkatkan konsistensi dapat memperbanyak pemilihan aitem yang digunakan (Jacobs,1991). Dengan demikian akan mengurangi responden untuk asal tebak dalam menjawab. Namun aitem ini juga harus dipertimbangkan kualitas pertanyaannya, karena apabila tidak dan aitem yang diberikan banyak dapat membuat responden kelelahan.
b)   Penyusunan aitem. Kalimat yang ambigu atau kurangnya kata dalam suatu kalimat juga dapat mempengaruhi interpretasi responden sehingga dapat mempengaruhi reliabilitas.
c)    Pemberian administrasi tes. Kalimat instruksi yang kurang jelas atau suasana yang bising dapat mempengaruhi responden ketika menjawab.
d)   Penilaian (scoring), pada tes esai memiliki reliabilitas yang lebih rendah dibandingkan dengan tes pilihan ganda. Karena pada tes esai, penilai memiliki interpretasi yang berbeda-beda dalam menilai jawaban responden sehingga lebih bersifat subyektif.
e)    Tingkat kesulitan dari suatu tes. Nilai dari suatu tes menunjukkan reliabilitas yang baik apabila nilai tersebut menyebar dari skala yang digunakan dengan demikian dapat terlihat perbedaan antar siswa. Faktor yang terakhir adalah siswa, dimana kelelahan, kecemasan, dan siswa sakit dapat menyebabkan reliabilitas yang rendah karena mempengaruhi kinerja mereka dalam mengerjakan tes (Jacobs,1991).

15.  Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi validitas?
Definisi yang jelas mengenai suatu konstrak pengukuran (Cook & Beckman, 2006). Selain itu, faktor-faktor yang juga mempengaruhi yaitu: panjang alat ukur, variabilitas kemampuan kelompok, instruksi tes yang ambigu, perbedaan sosio-kultural, penambahan item-item yang tidak tepat.

16. Bagaimana proses validasi?
Proses validasi melibatkan pengumpulan bukti-bukti untuk memberikan dasar ilmiah pada interpretasi skor yang dimaksud (Standards, 1999).

17.  Sebutkan sumber-sumber pembuktian validitas!
a)    Pembuktian yang didasarkan pada konten pengujian (evidence based on test content); mengacu pada tema, judul, format aitem-aitem, tugas, ataupun pertanyaan pada suatu tes, serta pedoman untuk prosedur mengenai administrasi dan skoring.
b)   Pembuktian yang didasarkan pada proses-proses respon (evidence based on response processes); berupa analisis teoritis dan empiris dari proses respon pengambil tes.
c)    Pembuktian yang didasarkan pada truktur internal (evidence based on internal structure); hal ini dapat menunjukkan sejauh mana hubungan antar item tes dan komponen yang diuji sesuai dengan dasar konstruk yang digunakan untuk menginterpretasi skor tes.
d)   Pembuktian yang didasarkan pada hubungannya terhadap variabel lain (evidence based on relations to other variables); dengan menganalisa hubungan antara skor tes dengan variabel eksternal tes.
e)    Pembuktian yang didasarkan pada konsekuensi pemberian tes (evidence based on consequences of testing); dengan menggabungkan konsekuensi-koneskuensi baik yang diinginkan maupun tidak diinginkan dari kegunaan tes kedalam konsep validitas, misal kebijakan sosial.

18. Bagaimana cara menguji validitas dan reliabilitas?
Menurut Sudijono (2009) terdapat berbagai jenis validitas, antara lain:
1. Pengujian Validitas Tes Secara Rasional
Validitas rasional adalah validitas yang diperoleh atas dasar hasil pemikiran, validitas yang diperoleh dengan berpikir secara logis.
a. Validitas Isi (Content Validity)
Valditas isi berkaitan dengan kemampuan suatu instrumen mengukur isi (konsep) yang harus diukur. Ini berarti bahwa suatu alat ukur mampu mengungkap isi suatu konsep atau variabel yang hendak diukur.
Validitas isi dari suatu tes hasil belajar adalah validitas yang diperoleh setelah dilakukan penganalisisan, penelususran atau pengujian terhadap isi yang terkandung dalam tes hasil belajar tersebut. Validitas isi adalah yang ditilik dari segi isi tes itu sendiri sebagai alat pengukur hasil belajar yaitu: sejauh mana tes hasil belajar sebagai alat pengukur hasil belajar peserta didik, isisnya telah dapat mewakili secara representatif terhadap keseluruhan materi atau bahkan pelajaran yang seharusnya diteskan (diujikan).
Misalnya test bidang studi IPS, harus mampu mengungkap isi bidang studi tersebut, pengukuran motivasi harus mampu mengukur seluruh aspek yang berkaitan dengan konsep motivasi, dan demikian juga untuk hal-hal lainnya. Menurut Kenneth Hopkin penentuan validitas isi terutama berkaitan dengan proses analisis logis, dengan dasar ini Dia berpendapat bahwa validitas isi berbeda dengan validitas rupa yang kurang menggunakan analisis logis yang sistematis, lebih lanjut dia menyatakan bahwa sebuah instrumen yang punya validitas isi biasanya juga mempunyai validitas rupa, sedang keadaan sebaliknya belum tentu benar.
b.Validitas konstruksi (Construct Validity)
Konstruk adalah kerangka dari suatu konsep, validitas konstruk adalah validitas yang berkaitan dengan kesanggupan suatu alat ukur dalam mengukur pengertian suatu konsep yang diukurnya. Menurut Jack R. Fraenkel validasi konstruk (penentuan validitas konstruk) merupakan yang terluas cakupannya dibanding dengan validasi lainnya, karena melibatkan banyak prosedur termasuk validasi isi dan validasi kriteria.
Validitas konstruksi juga dapat diartikan sebagai validitas yang ditilik dari segi susunan, kerangka atau rekaannya. Adapun secara terminologis, suatu tes hasil belajar dapat dinyatakan sebagai tes yang telah memiliki validitas konstruksi, apabila tes hasil belajar tersebut telalh dapat dengan secara tepat mencerminkan suatu konstruksi dalam teori psikologis.
2. Pengujian Validitas Tes Secara Empirik
Validitas empirik adalah ketepatan mengukur yang didasarkan pada hasil analisis yang bersifat empirik. Dengan kata lain, validitas empirik adalah validitas yang bersumber pada atau diperoleh atas dasar pengamatan di lapangan.
a.      Validitas ramalan (Predictive validity)
Validitas ramalan adalah suatu kondisi yang menunjukkan seberapa jauhkah sebuah tes telah dapat dengan secara tepat menunjukkan kemampuannya untuk meramalkan apa yang bakal terjadi pada masa mendatang.
Contohnya apakah test masuk sekolah mempunyai validitas ramalan atau tidak ditentukan oleh kenyataan apakah terdapat korelasi yang signifikan antara hasil test masuk dengan prestasi belajar sesudah menjadi siswa, bila ada, berarti test tersebut mempunyai validitas ramalan.
b.     Validitas bandingan (Concurrent Validity)
Tes sebagai alat pengukur dapat dikatakan telah memiliki validitas bandingan apabila tes tersebut dalam kurun waktu yang sama dengan secara tepat mampu menunjukkan adanya hubungan yang searah, antara tes pertama dengan tes berikutnya.
Reliabilitas instrumen dapat diuji dengan dua cara, yaitu uji reliabilitas eksternal dan internal. Dengan pengertian bahwa jika ukuran atau kriterianya berada di luar instrumen, maka dari hasil pengujian ini diperoleh reliabilitas eksternal, sedangkan reliabilitas internal diperoleh berdasarkan data dari instrumen saja.Untuk menguji reliabilitas eksternal : teknik paralel (double test double trial). Dengan menggunakan teknik ini peneliti menyusun dua perangkat instrumen. Kedua instrumen tersebut sama-sama diuji cobakan kepada sekelompok responden saja (responden mengerjakan dua kali) kemudian hasil dua kali tes uji coba tersebut dikorelasikan dengan korelasi Pearson.

19. Bagaimana cara pengujian reliabilitas hasil ukur skala psikologi?
Pengujian reliabilitas terhadap hasil ukur skala psikologi dapat dilakukan bilamana item-item yang terpilih lewat prosedur analisis item telah dikompilasikan menjadi satu (Azwar, 2008).

20.  Bagaimana aplikasi dalam menyatakan reliabiltas?
Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx’) yang angkanya berada dalam rentang dari 0 sampai dengan 1,00, dimana koefisien reliabiltas semakin mendekati 1,00 maka semakin tinggi reliabilitasnya, begitu pun sebaliknya (Azwar, 2008).

21.  Apakah Koefiisien validitas dan koefisien reliabilitas
a.    Validitas: hasil estimasi validitas suatu pengukuran yang dinyatakan secara empirik biasanya dinyatakan dengan korelasi antara distribusi skor tes dengan distribusi skor kriteria. Contoh apabila distribusi skor tes x dan skor kriteria adalah y, sehingga koefisien validitasnya adalah rxy. Koefisien validitas hanya memiliki makna apabila mempunyai nilai positif. Semakin mendekati 1,00 maka hasil tes semakin valid.
b.   Reliabilitas: Koefisien reliabilitas adalah tinggi-rendahnya reliabilitas yang dapat dilihat melalui korelasi antara dua dsitribusi skor dari dua alat ukur yang paralel yang dikenakan pada sekelompok individu yang sama. Semakin tinggi korelasi antara hasil ukur dari dua tes yang paralel, maka akan semakin konsisten dan dapat dikatakan sebagai alat ukur yang reliabel. Lambang dari korelasi paralel tersebut adalah rxx’, dimana skor x adalah tes pertama dan x’ untuk tes yang kedua. (Azwar, 2011).

22.  Jelaskan makna dari koefisien validitas dan reliabilitas!
a)        Interpretasi koefisien validitas dan reliabilitas keduanya bersifat relatif, dalam hal ini pada umumnya estimasi validitas berkisar 0,50 dapat dianggap memuaskan, sedangkan koefisien validitas kurang dari 0,30 biasanya dianggap tidak memuaskan.
b)       Pada umumnya, reliabilitas dapat dianggap memuaskan apabila koefisiennya minimal mencapai rxx’ = 0,900, namun terkadang suatu koefisien tidak mencapai nilai tersebut dan masih dianggap cukup berarti dalam suatu kasus tertentu terutama apabila skala yang bersangkutan digunakan bersama-sama dengan tes lain dalam suatu perangkat pengukuran (battery test) (Azwar, 2008).

23.  Sebutkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menginterpretasi koefisien reliabilitas!
Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan dalam menginterpretasikan koefisien reliabilitas, yaitu sebagai berikut (Azwar, 2008):
a.     Interpretasi koefisien reliabilitas bernilai spesifik bagi hasil ukur pada kelompok individu tertentu saja
b.      Koefisien reliabilitas hanya mengindikasi besarnya inkonsistensi skor hasil pengukuran, bukan menyatakan secara langsung penyebab inkonsistensi tersebut.

24.  Jelaskan perbedaan validitas internal dan validitas eksternal?
Djaali (2000, dalam Matondang, 2009) validitas internal (validitas butir) termasuk kelompok  validitas kriteria yang merupakan validitas yang diukur dengan besaran yang menggunakan tes sebagai suatu kesatuan (keseluruhan butir) sebagai kriteria untuk menentukan validitas butir dari tes itu. Dengan demikian validitas internal mempermasalahkan validitas butir dengan menggunakan hasil ukur tes tersebut sebagai suatu kesatuan sebagai kriteria, sehingga biasa juga disebut validitas butir. Validitas internal diperlihatkan oleh seberapa jauh hasil ukur butir tersebut konsisten dengan hasil ukur tes secara keseluruhan. Oleh karena itu validitas butir tercermin pada besaran koefisien korelasi antara skor butir dengan skor total tes. Jika koefisien korelasi skor butir dengan skor total tes positif dan signifikan maka butir tersebut valid berdasarkan ukuran validitas internal. Koefisien korelasi yang tinggi antara skor butir dengan skor total mencerminkan tingginya konsistensi antara hasil ukur keseluruhan tes dengan hasil ukur butir tes atau dapat dikatakan bahwa butir tes tersebut konvergen dengan butir-butir lain dalam mengukur suatu konsep atau konstruk yang hendak diukur. Validitas internal  untuk skor butir dikotomi digunakan koefisien korelasi biserial (rbis).
Validitas eksternal dapat berupa hasil ukur tes baku atau tes yang dianggap baku dapat pula berupa hasil ukur lain yang sudah tersedia dan dapat dipercaya sebagai ukuran dari suatu konsep atau variabel yang hendak diukur. Validitas eksternal diperlihatkan oleh suatu besaran yang merupakan hasil perhitungan statistika. Jika kita menggunakan basil ukur tes yang sudah baku sebagai kriteria eksternal, maka besaran validitas eksternal dari tes yang kita kembangkan didapat dengan jalan mengkorelasikan skor hasil ukur tes yang dikembangkan dengan skor hasil ukur tes baku yang dijadikan kriteria. Makin tinggi koefisien korelasi yang didapat, maka validitas tes yang dikembangkan juga makin baik. Kriteria yang digunakan untuk menguji validitas eksternal digunakan nilai r-tabel. Jika koefisien korelasi antara skor hasil ukur tes yang dikembangkan dengan skor hasil ukur tes baku lebih besar daripada r-tabel maka tes yang dikembangkan adalah valid berdasarkan kriteria eksternal yang dipilih (hasil ukur instrumen baku). Jadi keputusan uji- validitas dalam hal ini adalah mengenai valid atau tidaknya tes sebagai suatu kesatuan, bukan valid atau tidaknya butir tes seperti pada validitas internal.



25.  Jelaskan perbedaan reliabilitas berdasarkan kosistensinya?
Djaali (2000, dalam Matondang, 2009) menyatakan bahwa reliabilitas dibedakan atas dua macam, yaitu reliabilitas konsistensi tanggapan, dan reliabilitas konsistensi gabungan butir. Reliabilitas konsistensi tanggapan responden mempersoalkan apakah tanggapan responden atau obyek ukur terhadap tes atau instrumen tersebut sudah baik atau konsisten. Dalam hal ini apabila suatu tes atau instrumen digunakan untuk melakukan pengukuran terhadap obyek ukur kemudian dilakukan pengukuran kembali terhadap obyek ukur yang sama, apakah hasilnya masih tetap sama dengan pengukuran sebelumnya. Jika hasil pengukuran kedua menunjukkan ketidakkonsistenan maka jelas hasil pengukuran itu tidak mencerminkan keadaan obyek ukur yang sesungguhnya.

26. Sejauhmana validitas dan reliabilitas dapat dipercaya?
Reliabilitas: dalam konsep reliabilitas hasil ukur dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang sama, apabila aspek yang diukur dalam diri subjek belum berubah (Azwar,2011).

27.  Bilamana validitas dan reliabilias dikatakan tinggi atau rendah ?
a.    Validitas: suatu tes dapat dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila tes tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang tepat dan akurat sesuai dengan tujuan dari pengukuran. Sedangkan suatu tes yang tidak menghasilan data yang relevan sesuai dengan tujuan dari tes tersebut, maka validitas tes tersebut rendah (Azwar, 2011).
b.   Reliabilitas: Namun dalam reliabilitas dikatakan tinggi apabila hasil pengukuran yang dihasilkan dari tes tidak menunjukkan perbedaan yang besar dari waktu ke waktu (Azwar, 2011).

28. Bagaimana menghasilkan validitas yang baik dan dapat digunakan ?
Validitas: apabila tes tersebut memiliki kecermatan yang tinggi, yaitu mampu mendeteksi perbedaan-perbedaan kecil yang ada pada atribut yang sedang diukur (Azwar, 2011).

29. Mengapa validitas dan reliabilitas terkadang berbeda antara di lapangan dengan teori ?
Reliabilitas: Secara teori reliabilitas menunjukkan nilai tes yang bebas dari kesalahan pengukuran (error measurement), namun dalam kenyataannya tidak ada reliabilitas yang sempurna. Hal ini disebabkan adanya kesalahan acak (random errors) dimana terdapat variasi nilai yang tidak konsisten dari waktu ke waktu atau antar situasi (Jacobs, 1991).

30.  Bagaimanakah validitas dan reliabilitas mempengaruhi hasil penelitian?
Instrumen yang valid dan reliabel merupakan syarat untuk memperoleh data-data yang valid. Data-data inilah yang kemudian dianalisis dalam rangka mencari kesimpulan penelitian. Apabila sebuah instrumen memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi dan sudah teruji maka akan diperoleh data-data yang mendukung hasil penelitian. Semakin valid dan reliabel instrumen yang digunakan, maka hasil penelitian akan semakin valid dan reliabel.

31.  Bagaimana ketika validitas tinggi, reliabilitas rendah?
Validitas tinggi menandakan bahwa item atau alat ukur tersebut benar-benar sudah mengukur konstruk yang ditetapkan untuk diukur. Sedangkan reliabilitas rendah dalah ketika alat ukur tersebut tidak mampu menghasilkan nilai yang konsisten (ajeg) ketika di ukur pada situasi yang berbeda dari sebelumnya.
Pada tes-tes yang bermaksud memprediksi sebuah kriteria tertentu, (predictive-criterion related) validitas menjadi lebih penting daripada reliabilitas. Ketika nilai validitas memuaskan, maka rendahnya nilai reliabilitas tidak akan menjadi masalah. Contohnya : Tes-tes kreativitas.

32. Bagaimana ketika reliabilitas tinggi dan validitas rendah?
Reliabilitas tinggi menunjukkan bahwa sebuah instrumen atau alat ukur yang ada dapat secara konsisten (ajeg) mengukur sebuah konstruk yang ingin diukur dari waktu ke waktu atau apada berbagai situasi. Sedangkan nilai validitas yang rendah memperlihatkan sebuah instrumen yang tidak bisa menggambarkan atau tidak dapat benar-benar mengukur konstruk yang ingin diukur.
Apabila reliabilitas tinggi dan validitas rendah, maka instrumen atau alat ukur tersebut terbukti mampu menghasilkan nilai yang konsisten pada berbagai situasi, namun belum dapat memperlihatkan ketajaman pengukuran atas konstruk atau sesuatu yang ingin diukur

33. Bagaimana cara meningkatkan validitas?
Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan validitas paras suatu instrumen:
1. Pemanfaatan Soal
Naskah awal dari instrumen diperiksa oleh suatu kelompok evaluator, misalnya pembimbing tesis, ahli pembuat tes, dan para tenaga profesional yang berpengalaman dalam bidangnya.
2. Konsistensi Antarpenilai
Naskah awal yang telah diperiksa oleh para ahli tersebut diberi tanda, mana yang layak dan tidak layak. Kemudian, dipilah dan diseleksi mana yang paling cocok untuk dijadikan alat ukur atau instrumen. Tentu saja, layak atau tidak layaknya instrumen tersebut dilihat dari hasil penilaian para ahli secara konsisten dan objektif.
Selanjutnya, validitas dalam kaitannya dengan pengujian (testing) dan penilaian (assessment), Linn dan Gronlund (1985: 49) menegaskan ada sejumlah pertimbangan yang perlu diperhatikan: pertama, validitas mengacu kepada ketepatan interpretasi hasil dari suatu prosedur penilaian terhadap sekelompok individu; bukan kepada prosedur itu sendiri. Kedua, validitas memiliki perihal derajat tertentu dengan kategori-kategori: validitas tinggi (high validity), validitas sedang (moderate validity), dan validitas rendah (low validity). Ketiga, validitas senantiasa mengacu kepada kegunaan atau interpretasi yang spesifik; tidak ada penilaian yang valid untuk semua kegunaan. Keempat, validitas adalah kesatuan konsep yang didasarkan atas berbagai macam bukti yang muncul. Kelima, validitas merupakan sistem evaluasi  secara terpadu dan menyeluruh (overall evaluative judgement). Di samping itu, Linn dan Gronlund menyarankan agar dalam membuat interpretasi dan menggunakan hasil penilaian memperhatikan pertimbangan-pertimbangan mendasar, seperti isi (content), hubungan-hubungan kriteria tes (test-criterion relationships), construct  yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi hasil atau prestasi (performance). dan konsekuensi atau akibat yang bakal terjadi (consequence).

34.  Bagaimana cara meningkatkan reliabilitas?
Reliabilitas yang rendah dapat terjadi karena inkonsistensi pengamat, ketidakstabilan atribut dari subjek yang diukur dan situasi pengukuran yang tidak mendukung. Cara untuk meningkatkan reliabilitas adalah sebagai berikut:
1.    Memilih item-item pertanyaan untuk alat ukur, lalu menguji konsistensi internal dan stabilitas alat ukur melalui suatu uji coba (pilot study).
2.    Menghilangkan variasi pengukuran antar-pengamat, dengan menggunakan orang-orang terlatih dan termotivasi
3.    Menghilangkan variasi pengukuran intra-pengamat, dengan mengurangi sumber variasi eksternal seperti kejemuan,kelelahan, lingkungan berisik, yang berpengaruh kepada subjek penelitian maupun pengamat
4.    Melakukan koreksi terhadap pengamat, berdasarkan “kalibrasi” alat ukur dalam studi reliabilitas
5.    Membakukan situasi/konteks/lingkungan penggunaan instrument

Disusun oleh :
Dilla Ima Wati (1114141530005) - Muhithah Ulin Nuha (111414153015) - I Gusti Agung Komang Yulia Dewi (111414153018) - Rosita Permatasari (111414153020) - Pratiwi Setiadi (111414153029) - Hielma Hasanah (111414153030) - Nurdila Triastuti (111414153036) -Diyana Rochmawati (111414153038)

Dibawah bimbingan : Dr.Cholichul Hadi, Drs., M.Si


DAFTAR PUSTAKA

_________. (1999). Standards: Educational and psychological testing. Washington: American Educational Research Association.
Anastasi, A., & Urbina, S. (1998). Tes Psikologi (Edisi Terjemahan). Jakarta: PT. Prenhallindo.
Azwar, S. (2008). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2011). Tes Prestasi: Fungsi dan pengembangan pengukuran prestasi belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Cook, D. A. & Beckman, T. (2006). Current concept validity and reliability for psychometric instrument: Theory and application. The American Journal of Medicine.
Isaac, Stephen., Michael, William B., (1985), Handbook in Research and Evaluation, California, Edits publishers
Jacobs, L. C. (1991). Test Reliability. IU Bloomington evaluation service & testing. Diakses pada tanggal 7 November 2014 dari www.indiana.edu.
Matondang, Z. (2009). Validitas dan reliabilitas suatu instrumen penelitian.  Jurnal Tabularasa PPS Unimed, 6 (1), 87-97.
Neuman, W. L. (2007). Basic of social research: Qualitative and quantitative qpproaches, second edition. Pearson Education, Inc.
Murti, Bhisma, Prof, dr, MPH, Msc, Phd. (2011) Validitas dan Reliabilitas Pengukuran. Universitas Negeri Semarang: Tidak Dipublikasikan
Setyawan, Imam. (2011) Diktat Psikometri. Universitas Diponegoro: Tidak Dipublikasikan
Sujarwadi, Sri (2011). Valditas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian. Universitas Negeri Jakarta: Tidak dipublikasikan
Sugiyono. (2004). Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta.
Sugiyono. (2010). Metode penelitian pendidikan: Pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Widodo, P. B. (2006). Reliabilitas dan validitas konstruk skala konsep diri untuk mahasiswa Indonesia. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, 3 (1), 1-9.