Mengisi Liburan sebagai sarana Menemukan Bakat Anak
Allah Maha Adil, yang telah memberikan Bakat Dan minat kepada setiap hambaNya,ketika kelak anak kita Punya profesi yang bermanfaat buat banyak orang, itulah hasil Benih Bakat yang kita jaga-Munif Chatib
Liburan sebentar lagi, pasti sudah banyak rencana para orang tua untuk Mengisi liburan bersama ananda setelah penatnya mengikuti proses belajar dan ujian. Setidaknya kita Bisa Mengisi dengan acara yang bisa berkesan dan sebagai sarana untuk Menemukan dan menumbuhkan Bakat anak,agar nantinya anak menjadi segar menyongsong semester berikutnya.
Bakat adalah Suatu aktivitas yang berawal dari rasa ingin tahu,menimbulkan rasa suka, dilakukan berulang ulang Dan memiliki ciri-ciri :
1. Aktivitas yang disukai Dan tidak Bisa dibatasi
2. Bakat biasanya memunculkan banyak momen special
3. Merasa nyaman mempelajari aktivitas yang disukai
4. Bakat itu fast learner
5. Bakat terus menerus memunculkan minat untuk memenuhi kebutuhan anak
6. Bakat selalu mencari jalan keluar
7. Bakat menghasilkan Karya
8. Bakat membuat anak unjuk penampilan
Rasa suka anak terhadap sebuah aktivitas harus dipupuk. Ibarat tunas, rasa suka itu dapat tumbuh banyak sekali. Itulah bakat anak. Sayangnya banyak orang tua yang men cabut paksa tunas tunas tersebut. Dan tanpa sadar orang tua /rumah menjadi Mesin pembunuh Bakat anak. Diantaranya dengan :
1. Larangan melakukan aktivitas yang disukainya
2. Selalu menyebut anak dengan Sebutan negatif
3.Tidak memberikan kebebasan untuk berekspresi kepada anak
4. Hukuman yang tidak mendidik kepada anak
5. Tekanan anak terhadap prestasi di sekolahnya
Kamis, 27 November 2014
Rabu, 26 November 2014
PERILAKU IMPULSIF PADA ANAK KORBAN PERCERAIAN ORANG TUA (BROKEN HOME)
GAMBARAN PERILAKU IMPULSIF PADA ANAK KORBAN
PERCERAIAN ORANG TUA (BROKEN HOME)
LATAR BELAKANG
Keluarga merupakan lembaga terkecil
dalam sistem sosial kemasyarakatan. Bagi anak, keluarga merupakan lembaga
primer yang tidak dapat diganti dengan kelembagaan yang lain. Pada
kenyataannya, tidak semua keluarga dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Ketidakselarasan
harapan dan tujuan ayah (suami) dan ibu (istri) dapat memunculkan
konflik-konflik. Konflik-konflik yang terjadi dan berkepanjangan seringkali
berakhir pada perceraian.
Perceraian
merupakan kulminasi dari penyesuaian perkawinan yang buruk dan terjadi bila
antara suami istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyesuaian perkawinan
yang baik (Hurlock,1996). Dalam membangun suatu pernikahan
yang harmonis, ternyata tidak semudah seperti yang dibayangkan. Tingginya angka
perceraian yang terjadi sebagai salah satu bukti bahwa tidak semua pernikahan
berjalan dengan lancar seperti yang diharapkan oleh setiap pasangan suami
istri.
Angka perceraian di Indonesia
terus meningkat dari tahun ke tahun. Jawa Timur sebagai salah satu propinsi
yang menyumbang angka tertinggi, serta Surabaya sebagai kota kelima, akan
menghadirkan jumlah anak yang tidak sedikit dengan keluarga yang tidak lengkap
atau broken home.
Cerai merupakan peristiwa yang
traumatis bagi anak. Anak akan menghadapi kenyataan bahwa keluarganya tidak
lagi utuh. Bahwa ayah dan ibunya tidak lagi bersama dan banyak hal yang berubah
dari kehidupan anak sebelumnya. Hal itu akan membawa dampak psikologis bagi
anak.
Efek perceraian khususya sangat
berpengaruh pada anak-anak dan keluarga. Pada umumnya anak yang orangtuanya
bercerai atau menikah lagi merasa malu karena mereka merasa berbeda. Hal ini
sangat merusak konsep pribadi anak, kecuali apabila mereka tinggal dalam
lingkungan di mana sebagian besar dari teman bermainnya juga berasal dari
keluarga yang telah bercerai atau menikah lagi. (Hurlock, 1996).
Anak-anak
dari keluarga yang bercerai menunjukkan penyesuaian yang lebih buruk dibanding
teman-teman mereka dari keluarga yang tidak bercerai (Amato & Dorius,
2011). Konflik dalam perkawinan, mungkin memiliki konsekuensi negatif bagi
anak-anak (Cummings & Merrilees, 2009). Efek perceraian pada anak-anak
sangat kompleks, tergantung pada faktor-faktor seperti usia anak, kekuatan dan
kelemahan anak pada saat perceraian, jenis ketahanan, status sosial ekonomi,
dan fungsi keluarga saat perceraian (Ziol-Gust 2009)
Perceraian
adalah salah satu dari banyak aspek konteks sosial anak-anak yang dapat
memiliki efek mendalam pada kinerja anak di sekolah (Santrock,2014). Beberapa
penelitian yang bertujuan untuk membandingkan kemampuan akademik dan
intelektual anak-anak dari keluarga yang bercerai dan tidak, menemukan bahwa
anak-anak korban perceraian memiliki IQ yang lebih rendah, skor tes kemampuan
matematika dan membaca yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang
berasal dari keluarga utuh (tidak mengalami perceraian). (Kelly, 1993)
Anak-anak
korban perceraian mengalami prestasi akademik yang rendah, konsep diri yang
rendah serta menurunnya motivasi berprestasi dikarenakan ia hidup dalam
keluarga dengan perkawinan yang tidak membahagiakan. (Long, Forehand, Fauber, & Brody, 1987).
Pada
beberapa penelitian yang lain, anak-anak pasca perceraian orang tuanya (khususnya
laki-laki) akan berperilaku lebih agresif, menampakkan perilaku impulsif, and
anti sosial. Disamping itu mereka akan memiliki kesulitan dalam membina
hubungan dengan teman sebayanya, kehilangan figur otoritas dan menimbulkan
banyak masalah perilaku di sekolah. (Kelly, 1993)
Penelitian
tentang perkembangan anak korban perceraian mengatakan bahwa perceraian maupun
koflik dalam perkawinan akan berpengaruh pada kondisi emosi dan perilaku anak
dikarenakan proses modelling. Ketika
mereka mengamati tekanan emosi, ekspresi kemarahan dari perilaku agresif dan
tidak terkontrol dari orang tuanya ketika dalam konflik perkawinan, akan
menjadi referensi bagi anak-anak dalam berperilaku. Maka beberapa
perilaku-perilaku impulsif, agresif setelah proses perceraian merupakaan referensi
bentuk perilaku anak dalam menyikapi suasana yang menekannya. (Kelly,1993 )
Respon
agresif dan perilaku impulsif yang muncul pada anak-anak seringkali membawa
konsekuensi tersendiri bagi mereka dalam penyesuaian dirinya, baik secara
sosial maupun dalam pendidikannya. Secara sosial mereka akan dianggap sebagai
anak yang berperilaku sesuai keinginan mereka, tanpa memperhatikan norma-norma
sosial dan keinginan lingkungan sekitarnya. Dalam pendidikannya atau di dunia
sekolah, mereka dianggap (dilabel) sebagai anak pengganggu (disruptive) dalam kegiatan belajar mengajar yang terjadi.
Anak dengan
perilaku impulsif seringkali merusak aturan sosial teman sebayanya dan membuat
masalah untuk menarik perhatian di sekolahnya. Mereka sebenarnya memahami
aturan, namun tidak dapat menahan keinginannya. Secara logika mereka mengetahui
bahwa akan menjadi baik jika menunggu, namun mereka lebih mendahulukan
keinginan emosinya. (Tarullo, Obradovic, Gunnar, 2009).
Menurut Schaefer, Charles E dan Millman, Howard (1981) dalam
bukunya How To Help Children with Common
Problem, anak-anak dengan
kecenderungan impulsif berprilaku spontan, secara tiba-tiba, penuh kekuatan,
menarik-narik dan dengan cara yang tidak direncanakan. Konsekuensi dari
perilaku - perilaku tadi tidak terlalu diperhatikan olehnya, terlepas dari
kenyataan banyak anak-anak ini ketika ditanya mampu menggambarkan konsekuensi
negatif yang mereka juga tidak menyukainya.
Pada suatu waktu respon yang diberikan sangat cepat dan tanpa
dipikirkan, untuk memenuhi dorongan-dorongan mereka. Mereka biasanya tidak
dapat menerima penundaan dari pemenuhan keinginan-keinginan mereka dan biasanya
mereka tidak merencanakannya. Seringnya, reaksi awal mereka dalam sebuah
situasi tampak kurang pantas.
Perilaku impulsif biasanya mendasari
perilaku agresif dan hal ini seringkali disebut perilaku kurang matang atau
kurang memadai pada perkembangan moralnya. Anak-anak dengan perilaku impulsif
ini seringkali terlibat dalam perkelahian dan perdebatan. Dan mereka seringkali
digambarkan oleh sebayanya sebagai “anak nakal yang manja”, yang selalu
menginginkan sesuatu menurut kehendak dan caranya sendiri. Kemampuan untuk
menunda pemenuhan keinginannya sangat penting untuk perkembangan kepribadiannya
serta penyesuaian sosialnya.
Pada masa anak-anak akhir (usia
Sekolah Dasar), menurut Havighusrt, anak-anak diharapkan mampu mengembangkan
peran sosial secara tepat, mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok
sosialnya serta mengembangkan hati nurani, pengertian moral, dan nilai
lingkungan. (Hurlock, 1996). Hal ini sejalan dengan perkembangan psikosoial
menurut papalia, dimana anak-anak tersebut diharapkan bisa memenuhi aturan dan
ketetapan lingkungan sosialnya. (Papalia,2012)
Namun, anak-anak korban perceraian
dan memperlihatkan kecenderungan agresivitas dengan perilaku impulsifnya
seringkali kurang dapat diterima di lingkungan sosialnya. Perilaku yang
menonjolkan pemenuhan keinginannya, tidak mau menunggu, merebut, membuat gaduh,
menarik-narik sesuatu, memanggil-manggil berulang, menyela pembicaraan dan lain
sebagainya, akan membuatnya kurang diterima oleh lingkungan sosialnya. Ini akan
menghambat pencapaian tugas-tugas perkembangan yang harus dicapainya.
Pada kenyataannya, seringkali
dijumpai oleh penulis terdapat beberapa anak yang memperlihatkan perilaku yang
membuat orang dewasa sekitarnya melabel “tidak sopan” pada mereka. Setelah
ditelusuri mereka berasal dari keluarga yang mengalami perceraian. Muncul pertanyaan
yang diajukan pada penulis baik dari orangtuanya maupun dari orang-orang
sekitarnya seperti guru, atau orang dewasa lainnya, apakah perceraian yang
dialaminya memberikan pengaruh pada perubahan perilaku anak-anak tersebut.
Berdasarkan pengalaman penulis, serta penelitian-penelitian
yang sudah dikemukakan, melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian
mengenai perilaku impulsif pada anak korban perceraian orang tua (broken home).
FOKUS PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang yang
sudah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian
ini adalah : Bagaimana gambaran perilaku impulsif pada anak-anak dengan korban
perceraian orang tua (broken home).
Sub penelitian yang akan dibahas
dalam penelitian ini ada dua, yang pertama adalah: (a) Bagaimana proses
perceraian orang tuanya, apakah sebelum terjadinya perceraian muncul
konflik-konflik yang melibatkan ekspresi kemarahan dari perilaku agresif yang
tidak terkontrol dari orang tua. Sub permasalah kedua adalah (b) Bagaimana
proses penanaman nilai-nilai kesopanan atau penahanan diri (self control) yang dilakukan orang tua setelah perceraian kepada
anak-anak mereka.
SIGNIFIKANSI PENELITIAN
Berikut ini adalah
penelitian-penelitian yang memiliki signifikansi dengan penelitian yang sedang
dilakukan oleh penulis, yaitu membahas mengenai dampak perceraian orang tua
terhadap kondisi emosi anak dan perubahan perilakunya.
Penelitian
pertama berjudul Current Research On
Children’s Postdivorce Adjustment – No Simple Answer,yang dilakukan Joan B.
Kelly, membahas anak-anak yang menjadi korban perceraian orang tuanya. Secara
kognitif, anak-anak yang mengalami trauma perceraian akan memiliki kemampuan IQ
dan prestasi matematika yang lebih rendah dari teman sebayanya yang berasal
dari keluarga utuh. Disamping itu, konflik perkawinan yang dialami orang tua
sebelum bercerai akan memberikan pengaruh secara emosi dan perilaku kepada
anak-anak tersebut. Perilaku agresif, impulsif orang tua yang diamati anak-anak
selama periode konflik akan menjadi referensi perilaku bagi anak-anak tersebut
dalam merespon lingkungannya.
Penelitian
yang dilakukan oleh Sofia Salmawati Alia, 2010 dari UIN Malik Ibrahim Malang
tentang Dampak Perceraian Orang Tua
Terhadap Emosi Anak di SDN Ketawanggede I Malang, yang membahas tentang
ekspresi emosi anak-anak korban perceraian. Ekspresi emosi yang sering
ditampilkan anak adalah ekspresi sedih dan marah. Ungkapan kesedihannya dengan
menangis, dan ungkapan kemarahannya dengan bertindak kasar. Perkembangan
emosinya akan terganggu. Disamping itu, anak korban perceraian mengalami
hambatan dan kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
Fransisca
Nanik Indriani (2008), melakukan penelitian yang berjudul Dampak Psikologis Perceraian Orang Tua terhadap Anak. Dalam
penelitian ini membahas tentang dampak perceraian pada anak adalah perubahan
sikap maupun perilakunya. Adanya penyangkalan, rasa marah, rasa takut,
kesedihan dan rasa malu merupakan dampak negatifnya. Sedangkan dampak
positifnya adalah anak menjadi lebih mandiri dan merasakan kehidupan yang lebih
indah.
Penelitian
berikutnya dilakukan oleh Amandar R Tarullo, Jelena Obradovic, Megan R.Gunnar
(2009) tentang Self Control and
Developing Brain yang membahas tentang kontrol diri pada anak-anak impulsif
atau agresif yang tampak kurang dapat dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia
tumbuh dan berkembang. Lingkungan yang tenang dan jauh dari konflik akan
memudahkan anak belajar mengendalikan keinginan-keinginannya dan mau menunggu.
Sedangkan anak dengan lingkungan yang penuh konflik akan mengalami kesulitan
mengendalikan diri dan kemauannya.
Dari
keempat penelitian diatas, penelitian yang dilakukan Joan B. Kelly (1993)
memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Kemiripan
tersebut adalah mengkaji anak-anak yang menjadi korban perceraian orang tua.
Kelly mengkaji semua dampak perceraian orang tua di Inggris bagi anak-anaknya.
Namun pada penelitian ini peneliti lebih mengkhususkan pada perilaku impulsif
yang tampak pada anak-anak korban perceraian. Dan peneliti membatasi pada
anak-anak usia sekolah dasar (masa anak-anak akhir).
Disamping
itu penelitian yang dilakukan Sofia Salmawati Alia, 2010 juga memiliki
kemiripan, selain usia subjeknya yang sama, sofia juga mengkhususkan meneliti
dampak perceraian pada sisi ekspresi emosi. Namun perbedaannya adalah peneliti
mengkhususkan pada perilaku impulsif anak-anak korban perceraian orang tua.
TUJUAN
PENELITIAN
Tujuan
utama penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran perilaku impulsif pada
anak-anak korban perceraian (broken home).
Sedangkan tujuan penelitian yang
terkait dengan sub permasalahan penelitian adalah : (a) Mengetahui dan memahami
konflik-konflik yang melibatkan ekspresi kemarahan dari perilaku agresif yang
tidak terkontrol dari orang tua sebelum proses perceraian orang tua yang teramati
oleh anak. Sehingga anak memiliki referensi perilaku impulsif dan agresif.
Sedangkan untuk sub permasalah kedua adalah (b) Mengetahui proses penanaman
nilai-nilai kesopanan atau penahanan diri (self
control) yang dilakukan orang tua setelah perceraian kepada anak-anak
mereka.
MANFAAT PENELITIAN
Manfaat personal bagi peneliti
ini adalah sebagai salah satu media pembelajaran untuk menerapkan ilmu yang
telah didapatkan yaitu ilmu psikologi, serta memberikan pengalaman berharga
kepada penulis tentang bagaimana melakukan penelitian ilmiah yang bersifat
kualitatif.
Manfaat teoritis dari penelitian ini
adalah memberikan kontribusi positif dalam bidang keilmuan psikologi berupa
pemahaman yang lebih mendalam mengenai perilaku impulsif pada anak-anak korban
perceraian orang tua. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian
untuk penelitian serupa yang mungkin dilaksanakan dimasa datang.
Manfaat praktis dari penelitian ini
adalah dapat memberikan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat pada umumnya,
dan mahasiswa pada khususnya, mengenai perilaku impulsif pada anak-anak korban
perceraian orang tua dan merencanakan perlakuan atas anak-anak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Hurlock, Elizabeth B., (1996), Psikologi Perkembangan, Suatu Rentang
Sepanjang Rentang Kehidupan, Erlangga, Jakarta
Kelly, Joan B (1993), Current Research On Children’s Postdivorce
Adjustment – No Simple Answer, diakses pada 29 Oktober 2014 http://progetti
unicatt.it/mainprojects_Research_children_postdivorce_adjustment.pdf
Mash, Erich J., Wolfe, David A. (2005),
Abnormal Child Psychology 3rd
edition, Woodsworth.
Moeller, F. Gerard MD, Barratt, Ernest
S. Ph.D, Daugherty, Donald M Ph D, Joy M.Schmitz, Ph.D, Alan C. Swann,MD
(2001), Psychiatric Aspect of Impulsivity,
Am J Psychiatriy 2001; 158:1783-1793 diakses pada 20 Oktober 2014, 09.45 http://ajp
psychiatryonline.org/data/Journals/AJP/3730/1783.pdf
Nanik, (2007) Penelusuran Karakteristik Hasil Tes Inteligensi WISC Pada Anak Dengan
Gangguan Pemusatan Perhatian, Jurnal Psikologi UGM Vol. 34, No.1, 18-39,
2007, diakses 25 Oktober 2014, 14.15 http://journal.psikologi.ugm.ac.id/index.php/fpsi/article/view/76.
Nanik, Fransisca., (2008) Dampak Psikologis Perceraian Orang Tua
Terhadap Anak, Skripsi., diakses 29 Oktober 2014, pada 20.15, http://eprints.unika.ac.id/1668/1/03.40.0005_Fransisca_Nanik_Indriani.pdf
Nigel Mellor,Dr, (2008), ADHD or Attention Seeking?Ways of
Distinguishing Two Common Childhood Problems,paper presented to BPS/DECP
annual conference, Bournemouth January
Papalia, D.E. dan Feldman, R.D., (2014). Menyelami
Perkembangan Manusia Buku 1 (Experience Human Development 12th ed.) diterjemahkan
oleh Fitriana Wuri Herarti. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Papalia, D.E. dan Feldman, R.D., (2014). Menyelami
Perkembangan Manusia Buku 2 (Experience Human Development 12th ed.) diterjemahkan
oleh Fitriana Wuri Herarti. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Santrock, John W.,
(2014). Psikologi Pendidikan Buku 1 (Educational Psychology, 3th ed.)
diterjemahkan oleh Diana Angelica. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Schaefer, Charles E, dan Millman.
Howard L.(1981),L How to Help Children
with Common Problems, Van Nostrand Reinhold Company Inc. Newyork
Sofia Salmawati Alia, (2010), Dampak Perceraian Orangtua Terhadap Emosi
Anak di SDN Ketawanggede I Malang, diakses pada 30 Oktober 2014, 20.15. http://lib.uin-malang.ac.id/?mod=th_detail&id=06410047
Tarullo, Amandar R.,
Obradovic, Jelena., Gunnar, Megan R., (2009), Self Control and Developing Brain, diakses 31 Oktober 2014, pada
09.00, http://web.stanford.edu/group/pdf/Tarullo,%20Gunar%20(2009,%200-3)Self-Control%20and%20the%20Developing%20brain,pdf.
.
Menghadapi UTS bersama-sama..
Menghadapi UTS bersama-sama..
Minggu-minggu ini beberapa anak-anak
kita sedang berjuang menghadapi UTS. Dan pastinya sebagai orang tua kita
menginginkan anak-anak kita akan mencapai prestasi terbaiknya. Namun, terkadang
keinginan orang tua yang kuat untuk mendorong anaknya belajar, menimbulkan sikap yang kurang
bisa diterima anak-anak. Akibatnya, anak-anak merasa semakin tertekan dan
kurang bisa belajar dengan nyaman.
Sebenarnya, apa yang perlu dilakukan orang tua untuk mengoptimalkan potensi
belajar anak, sehingga anak menjadi siap untuk menghadapi UTS :
- Meyakinkan diri bahwa anak-anak kita mampu
Setiap anak luar biasa dan memiliki potensi menjadi
manusia sukses kelak. Dan setiap anak mempunyai gaya belajar yang berbeda.
(Auditory, visual dan kinestetik). Setiap orang tua harus menyadari bahwa
dengan multiple intelligence yang
dimiliki anak-anak, insyaallah anak kita akan unggul pada satu bidang tertentu.
- Mempersiapkan suasana yang nyaman untuk belajar
Suasana ruangan yang tenang, rapi, penerangan yang cukup
dan udara yang bersih tentu saja menjadikan anak-anak nyaman untuk membaca atau
melatih diri dengan soal-soal yang ada. Sebagai orang tua, kita juga harus
menghormati anak-anak kita yang sedang berjuang dengan berempati pada suasana
belajar tersebut. Intinya suasana belajar positif harus dibangun bersama-sama.
Untuk anak-anak yang sudah dapat diajak berkomunikasi dan
bernegosasi, sebaiknya kita membuat kesepakatan kegiatan belajar yang bagaimana
yang ia sukai dan mengurangi distraksi-distraksi yang ada, mis. Nonton tv,
ngegame, bermain di luar dan lain sebagainya.
- Tidak memberikan tekanan atau labelling
Melakukan
pendampingan yang lembut pasti lebih disukai anak-anak. Tekanan yang berlebih
untuk anak kita, misalnya dengan selalu mengingatkan tentang momentum ujian,
akan membuat anak tidak nyaman secara emosi. Anak akan memiliki pemikiran bahwa
UTS adalah sebuah medan
perang yang menakutkan (terbebani). Dan
tentu saja ini berdampak pada kesiapan belajarnya.
Labelling
merupakan hal yang harus dihindari oleh orangtua.
- Memotivasi dengan kalimat positif
Kalimat
positif berefek luar biasa pada anak kita. Dan
ini akan menguatkannya ketika ia menghadapi situasi yang menurutnya berat.
- Mendoakan dengan tulus dan berpasrah
Anak Tangguh, Semakin Langka?
Anak Tangguh, Semakin Langka?
Heboh berita konflik
Marshanda dengan ibundanya juga diagnosa bipolar
disorder atasnya, tentu saja cukup menyita perhatian kita. Marshanda yang
sebelumnya menginspirasi banyak orang dengan motivartisnya, saat ini sedang
mengalami hal hal yang cukup memprihatinkan bagi sebagian orang. Namun demikian
banyak pelajaran yang bisa dipetik oleh kita sebagai insan maupun yang sudah
berperan sebagai orang tua.
Apa sih bipolar disorder?. Bipolar disorder adalah suatu gangguan psikologi yang mengacu pada
perubahan suasana hati ekstrim berupa (kesedihan) depresi dan (kebehagiaan) mania. Penderita bipolar
memiliki mood swings yang ekstrim
yaitu pola perasaan yang berubah drastis. Sebenarnya bipolar disorder merupakan salah satu fase perubahan mental yang
dialami seseorang ketika menghadapi permasalahan yang menurutnya berat dari
yang sebelumnya sehat sampai nantinya mengalami psikotik.
Tanda dan gejala bipolar disorder ada beberapa,
diantaranya :
- Suasana hati yang murung dan sedih yang berkepanjangan
- Sering menangis atau ingin menangis tanpa alas an yang jelas
- Kehilangan minat untuk melakukan sesuatu
- Tidak mampu merasakan kegembiraan
- Mudah letih, kurang bergairah, tidak bertenaga
- Sulit berkonsentrasi
- Merasa tidak berguna dan putus asa
- Merasa berdosa dan bersalah
- Rendah diri atau kurang percaya diri
- Pesimis
- Berpikir untuk bunuh diri
- Hilang nafsu makan atau memiliki nafsu makan berlebih
- penurunan berat badan atau penambahan berat badan
- Sulit tidur atau tidur berlebihan
- Mual, susah bab atau diare
- Menghindari komunikasi dengan orang lain.
Penyebab gangguan ini al.
- Genetik ( Neurochemistry & Neoroendokrin)
- Lingkungan (Stress,penyalahgunaan zat,obat-obatan tertentu , musim dan kurang tidur)
Penyebab bipolar disorder tidak tunggal genetik tapi selalu ada pemicu
yaitu permasalahan permasalahan hidup terkait dengan hubungan sosial atau
kegagalan pencapaian tujuan tujuan. Disamping itu kejadian masa kecil yang
kurang menyenangkan juga bisa memicu munculnya bipolar disorder.
Sebagai orang tua, disinilah
peran kita yaitu menyiapkan anak anak yang tangguh dari rumah dan keluarga
sehingga mereka siap menghadapi persoalan apapun. Tidak mudah galau dan putus
asa menghadapi kegagalan.
Bagaimana caranya :
- Mengenalkan konsep keimanan sejak awal. Bahwa segala sesuatu yang terjadi tidak pernah sia sia dan tidak akan pernah luput dari keputusan terbaik Allah untuk kita. Tentu saja hal ini diimbangi dengan kegiatan ubudiyah (spiritual) yang sifatnya rutin dan membangun tanggung jawab beribadah.
- Membebaskan anak terus bereksplorasi baik itu pada ranah pengetahuan maupun minat keahlian, dengan begitu anak akan belajar memilih dan konsekwen terhadap pilihannya
- Memenuhi kebutuhan emosi anak. Anak selalu butuh diperhatikan, dimotivasi dan diarahkan dengan penuh kasih sayang. Orang tua sebagai guru awal mereka belajar berekspresi secara emosi, maka sebisa mungkin orang tua selalu bereaksi positif terhadap apapun ekspresi emosi anak.
- Membangun komunikasi yang intens dan menyenangkan sehingga anak bisa terus terbuka terhadap persoalan yang dihadapinya dan juga bisa bebas mengekspresikan reaksi terhadap permasalahan yang dihadapinya.
Sekali lagi, keluarga
adalah kunci awal seorang anak berkembang optimal sesuai fasenya, maka
dibutuhkan keharmonisan serta kekompakan dalam membangun keluarga untuk
nantinya dapat menghasilkan generasi generasi tangguh.
Anak dan Bermain
BERMAIN SEBAGAI SALAH SATU
KEBUTUHAN ANAK
Anak anak
identik dengan bermain. Dan seringkali kita para orang tua belum sepenuhnya
memahami bahwa dalam bermain anak akan mendapatkan banyak hal. Orang tua
seringkali gusar (galau) ketika anak anaknya seharian bermain atau tidak mau
berhenti ketika bermain. Padahal dalam bermain anak mendapatkan banyak manfaat.
Dan yang perlu kita sadari adalah, bermain merupakan salah satu kebutuhan utama
bagi anak.
Apa itu bermain?
Bermain adalah
suatu aktivitas yang langsung, spontan di mana seorang anak akan berinteraksi
dengan orang lain,benda benda disekitarnya,dilakukan dengan senang (gembira),
atas inisiatif sendiri, menggunakan daya khayal (imaginatif), menggunakan panca
indra, dan seluruh anggota tubuhnya. Saat bermain semua indra anak bekerja
aktif. Sehingga setiap informasi yang ditangkap merupakan rangsangan tersendiri
bagi perkembangan anak.
Sebenarnya apa saja manfaat bermain ?
- Perkembangan Fisik
·
Saat bermain, anak akan bergerak dan ini
berpengaruh pada kesehatan fisiknya secara keseluruhan
·
Perkembangan ototnya juga menjadi kuat
·
Bermain merupakan sarana untuk menyalurkan energi
·
Bermain membuat anak anak yang masih pra sekolah
menjadi aktif
- Perkembangan Emosi dan kepribadian
- Bermain adalah suatu aktivitas yang dapat melepaskan ketegangan
- Saat bermain, seorang anak dapat mengembangkan keterempilan keterampilan mengekspresikan emosi dan bersosialisasi, mis, empati
- Perkembangan Sosial
- Dengan bermain merupakan anak bisa berlatih mandiri dan berpisah dengan figur lekatnya selama ini.
Kekhilafan Dalam Mendidik Anak
KEKHILAFAN DALAM MENDIDIK ANAK
Menjadi
orang tua tidak hanya sebagai taqdir, namun seperti hadirnya sebuah kesempatan
untuk membuktikan peranan kita dimuka bumi,meneruskan rencana ilahi,mewarnai
anak-anak dengan cinta. Lalu, biarkan siklus berputar sampai zaman menamatkan.
– Munif
Chatib
Sebagai
orang tua, pastilah secara fitrah kita menginginkan anak anak kita menjadi anak
yang baik dan sukses. Sebagaimana doa yang sering di ajarkan dan tidak asing
bagi keluarga muslim yaitu : “Robbana hablana min azwajinaa wa
dzurriyyatina qurrota a’yun ..”
Yang
artinya : Ya Robb, karuniakan kepada kami pasangan dan anak anak yang bisa
menyenangkan dan menyejukkan pandangan kami…” dan tentulah hal ini menjadi cita
cita setiap orang tua.
Maka
sebagai orang tua, kita memiliki tanggung jawab untuk mendidik dan mengarahkan
anak anak kita menjadi anak anak yang sholih dan sukses dalam kehidupannya
nantinya.
Belajar
dan belajar menjadi orang tua yang baik memang membutuhkan semangat dan effort yang tidak sedikit. Namun itulah
konsekwensi yang harus dihadapi orang tua karena anak adalah amanah.
Berikut
ini beberapa hal yang bisa menjadikan proses pembimbingan anak dalam sebuah
keluarga kurang tepat. Kami menyebutnya sebagai kekhilafan orang tua dalam
mendidik anak :
- Membiarkan Pelanggaran
·
Tidak menepati
janji
·
Melanggar
peraturan yang dibuat sendiri
·
Ayah dan ibu
tidak kompak
Dampak :
Anak akan sangat pandai meniru orang tuanya yakni
TIDAK KONSISTEN
- Kurang memiliki kontrol emosi yang Baik
- Membentak, memaki dengan kata kata kasar
- Memukul anak
- Marah untuk melampiaskan emosi
Dampak :
Anak tumbuh tidak percaya diri, menjadi pribadi
yang ragu ragu, anak merasa Tidak dicintai
- Terlalu melindungi (over Protective)
·
Anak tidak
mempunyai kesempatan melakukan hal-hal baru
·
Terlalu BANYAK
LARANGAN
Dampak :
Traumatik, Tidak kreatif, kurangnya pengalaman
kurang menyenangkan, kurang memiliki semangat berjuang
- Cara komunikasi yang kurang baik
·
Memaksakan
komunikasi gaya
orang tua
·
Komunikasi
hanya verbal, tidak memperhatikan unsur lain (sentuhan, visual, intonasi,
vocal,dll)
·
Komunikasi
hanya satu arah
Dampak :
Anak tidak memahami gagasan oaring tua
Anak merasa pendapatnya tidak dihargai
Anak merasa tidak dipahami
- Tidak memahami cara memotivasi anak
·
Memotivasi
anak dengan hal-hal yang menakutkan
·
Memotivasi
anak dengan hal hal yang memalukan
·
Memotivasi
anak dengan membandingkan
Dampak :
Trauma / Phobia, Tidak percaya diri
Validitas dan Reliabilitas
VALIDITAS
DAN RELIABILITAS
Validitas dan reliabilitas menjadi
bahasan utama dalam setiap pengukuran dalam penelitian. Keduanya berfokus
bagaimana menciptakan pengukuran yang terhubung dengan konstruk yang diukur.
Reliabilitas dan validitas menjadi hal yang sangat penting karena konstruk pada
teori sosial seringkali ambigu, membingungkan dan sering kali tidak dapat
secara langsung teramati. Semua peneliti sosial ingin pengukuran yang mereka
lakukan memiliki validitas dan reliabilitas yang baik, lantas apa yang dimaksud
validitas dan reliabilitas ? dan bagaimana, apa, kapan mereka berfungsi dengan
baik? Berikut ulasan beberapa pertanyaan yang mungkin dapat sedikit
membantu kita untuk dapat memahami validitas dan reliabilitas.
1.
Apakah fungsi Pengukuran Psikologi ?
Hasil-hasil yang
diperoleh dalam pengukuran psikologis berfungsi sebagai
dasar dalam mengambil keputusan. Berdasarkan atas keputusan yang akan diambil
dalam pengukuran psikologis. Fungsi pengukuran psikologis antara lain
:
a)
Fungsi seleksi, yaitu untuk memutuskan
individu-individu yang akan dipilih. Misalnya tes masuk untuk suatu lembaga pendidikan
atau tes seleksi untuk suatu jenis jabatan tertentu.
b)
Fungsi klasifikasi, yaitu
mengelompok-mengelompokkan inidvidu dalam kelompok sejenis. Misalnya
mengelompokkan siswa yang mempunyai masalah yang sejenis sehingga dapat
diberikan bantuan yang sesuai masalahnya. Atau mengelompokkan siswa ke program
yang khusus tertentu.
c)
Fungsi deskripsi, yaitu menyuguhkan hasil
pengukuran psikologis yang telah dilkukan tanpa kalsifikasi tertentu. Misalnya
melaporkan profile minat seseorang yang telah dites dengan tes minat.
d)
Mengevaluasi suatu treatment, yaitu untuk
mengetahui apakah suatu tindakan tertentu yang telah dilakukan terhadap
seseorang atau kelompok individu telah mencapai hasil atau belum. Misalnya
seorang siswa yang mengalami kesulitan belajar diberikan remidial tersebut lalu
diadakan tes untuk mengetahui apakah remidial yang diberikan sudah berhasil
atau belum.
e) Menguji suatu
hipotesis, yaitu untuk mengetahui apakah hipotesis yang dikemukakan
itu betul atau salah. Misalnya seorang peniliti mengemukakan hipotesis sebagai
berikut : makin terang lampu yang digunakan untuk belajar makin baik prestasi
belajar yang akan dicapai.
2.
Who?
Tokoh pertama yang
mendefinisikan reliabilitas adalah Spearmen-Brown (Setyawan, 2011)
3. Apa yang dimaksud
dengan validitas dan reliabilitas?
Reliabilitas
·
Reliabilitas berarti keandalan atau konsistensi. Hal ini
menunjukkan bahwa pengukuran atribut yang sama diulang akan memberikan hasil
kondisi yang identik atau sangat mirip. Reliabilitas dalam penelitian
kuantitatif menunjukkan bahwa hasil numerik yang dihasilkan oleh suatu
indikator tidak berbeda karena karakteristik dari proses pengukuran atau
instrumen pengukuran itu sendiri. Kebalikan dari reliabilitas adalah pengukuran
yang memberikan hasil yang tidak menentu, tidak stabil, atau tidak konsisten
(Neuman, 2007).
·
Menurut Anastasi dan Urbina (1998) reliabilitas merujuk
pada konsistensi skor yang dicapai oleh orang yang sama ketika mereka
diuji-ulang dengan tes yang sama pada kesempatan yang berbeda, atau dengan
seperangkat butir-butir ekuivalen yang berbeda, ataupun dibawah kondisi
pengujian yang berbeda.
·
Reliabilitas berasal dari kata reliability yang berarti sejauh mana hasil suatu pengukuran
memiliki keterpercayaan, keterandalan, keajegan, konsistensi, kestabilan yang
dapat dipercaya. Hasil ukur dapat dipercaya apabiladalam beberapakali
pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama
(Azwar, 2011).
Validitas
·
Validitas menunjukkan keadaan yang sebenarnya dan mengacu
pada kesesuaian antara konstruk, atau cara seorang peneliti
mengkonseptualisasikan ide dalam definisi konseptual dan suatu ukuran. Hal ini mengacu pada seberapa baik ide tentang realitas "sesuai"
dengan realitas aktual. Dalam istilah sederhana, validitas membahas pertanyaan
mengenai seberapa baik realitas sosial yang diukur melalui penelitian sesuai
dengan konstruk yang peneliti gunakan untuk memahaminya (Neuman, 2007).
·
Validitas yaitu mengenai apa dan seberapa
baik suatu alat tes dapat mengukur, sedangkan reliabilitas merujuk pada
konsistensi skor yang dicapai oleh orang yang sama ketika diuji berulang kali
dengan tes yang sama pada kesempatan yang berbeda, atau dengan seperangkat
butir-butir ekuivalen (equivalent items) yang berbeda, atau dibawa
kondisi pengujian yang berbeda (Anastasi &
Urbina, 1998).
·
Azwar (1987, dalam
Widodo, 2006) menyatakan bahwa validitas berasal dari kata validity yang
mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu instrumen pengukur
(tes) dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes dikatakan memiliki validitas
yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukur secara tepat atau
memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran
tersebut. Artinya hasil ukur dari pengukuran tersebut merupakan besaran yang
mencerminkan secara tepat fakta atau keadaan sesungguhnya dari apa yang diukur.
·
Suryabrata (2000,
dalam Widodo, 2006) menyatakan bahwa validitas tes pada dasarnya menunjuk
kepada derajat fungsi pengukurnya suatu tes, atau derajat kecermatan ukurnya
sesuatu tes. Validitas suatu tes mempermasalahkan apakah tes tersebut
benar-benar mengukur apa yang hendak diukur. Maksudnya adalah seberapa jauh
suatu tes mampu mengungkapkan dengan tepat ciri atau keadaan yang sesungguhnya
dari obyek ukur, akan tergantung dari tingkat validitas tes yang bersangkutan.
·
Sudjana (2004, dalam
Widodo, 2006) menyatakan bahwa validitas berkenaan dengan ketepatan alat
penilaian terhadap konsep yang dinilai sehingga betul-betul menilai apa yang
seharusnya dinilai.
·
Validitas berasal
dari kata validity yang berarti
sejauhmana ketepatan dan kecermatan pengukur (tes) dalam melakukan fungsi
ukurnya (Azwar, 2011).
4. Mengapa kita perlu
validitas dan reliabilitas?
·
Validitas digunakan sebagai pengembangan dan
pengevaluasian suatu tes.
·
Reliabilitas
digunakan sebagai indikator dalam mempercayai nilai dari suatu tes karena
memiliki konsistensi (Jacobs, 1991).
5.
Berapa macam/jenis validitas dan reliabilitas dalam riset atau alat ukur? Reliabilitas
Jenis-jenis reliabilitas antara lain (Sugiyono, 2004):
a.
Reliabilitas
tes-retes; yaitu dengan mengulang tes yang sama pada kesempatan kedua.
b.
Reliabilitas bentuk
alternatif; yaitu melalui penggunaan bentuk-bentuk tes lainnya.
c.
Reliabilitas
belah-separuh (split-half reliability); dimana skor yang diperoleh untuk
tiap individu diperoleh dengan membagi tes melalui berbagai prosedur
belah-separuh.
d.
Reliabilitas
Kuder-Richardson dan Koefisien Alpha; yaitu dengan menggunakan administrasi
tunggal dari suatu bentuk tunggal didasarkan pada konsistensi respons terhadap
semua butir soal dalam tes yang dipengaruhi oleh dua sumber varian kesalahan.
Jenis
reliabilitas terdiri dari 2, antara lain:
-
Reliabilitas
konsistensi tanggapan: responden
mempersoalkan apakah tanggapan responden atau obyek ukur terhadap tes atau
instrumen tersebut sudah baik atau konsisten. Dalam hal ini apabila suatu tes
atau instrumen digunakan untuk melakukan pengukuran terhadap obyek ukur
kemudian dilakukan pengukuran kembali terhadap obyek ukur yang sama, apakah
hasilnya masih tetap sama dengan pengukuran sebelumnya.
-
Reliabilitas
konsistensi gabungan butir: berkaitan dengan
kemantapan antara butir suatu tes. Dengan kata lain bahwa terhadap bagian obyek
ukur yang sama, apakah hasil ukur butir yang satu tidak kontradiksi dengan
hasil ukur butir yang lain (Djaali, 2000, dalam Matondang, 2009).
Validitas
Jenis-jenis validitas yaitu sebagai berikut (Sugiyono, 2004):
a. Validitas konstruksi (construct validity); dengan menggunakan pendapat dari ahli (experts judgment)
b. Validitas isi (content validity); dilakukan dengan membandingkan antara isi
instrument dengan materi pelajaran yang telah diajarkan.
c. Validitas eksternal; dengan cara membandingkanguna mencari kesamaan anatar criteria yang ada
pada instrument dengan fakta-fakta empiris yang terjadi di lapangan.
Menurut Neuman (2007), terdapat tiga jenis
validitas pengukuran, antara lain:
a.
Face validity. Ini merupakan validitas yang
paling mudah untuk dicapai dan sebagian besar jenis dasar dari validitas adalah
face validity. Hal ini memerlukan
pertimbangan dari komunitas ilmiah bahwa indikator benar-benar dapat digunakan
untuk mengukur suatu konstruk. Kesesuaian antara definisi dan metode pengukuran
yang digunakan merujuk pada pertimbangan dari suatu konsensus komunitas ilmiah
atau penilaian dari orang lain.
b.
Content vatidity. Validitas ini membahas mengenai
definisi konseptual yang berisi ide-ide dan konsep dapat direpresentasikan
dalam suatu pengukuran. Validitas isi melibatkan tiga langkah. Pertama,
menentukan definisi konstruk dari seluruh konten. Selanjutnya, ambil sampel
dari semua bidang definisi. Kemudian, mengembangkan indikator yang mewakili
semua bagian dari definisi.
c.
Validitas Kriteria. Validitas
kriteria menggunakan beberapa standar atau kriteria untuk mengindikasi konstruk
secara akurat. Validitas dari indikator diverifikasi
dengan cara membandingkannya dengan ukuran lain dari konstruk yang sama yang
diterima secara luas. Ada dua subtipe dari
jenis validitas kriteria, yaitu:
(1)
Validitas konkuren. Indikator harus
dikaitkan dengan indikator yang sudah ada sebelumnya dan dinilai sebagai valid
(misalnya, telah memiliki face validity).
(2) Validitas prediktif. Validitas kriteria dimana indikator memprediksi kejadian masa depan yang
logis terkait dengan suatu konstruk. Hal ini tidak dapat digunakan untuk semua
ukuran. Ukuran dan tindakan yang diprediksi harus berbeda, tetapi dapat
menunjukkan konstruk yang sama. Validitas pengukuran prediktif tidak perlu
dibingungkan dengan prediksi dalam pengujian hipotesis, di mana satu variabel
memprediksi variabel yang berbeda di masa depan.
Jenis validitas terdiri dari 3 yaitu:
-
Validitas isi: menunjukkan sejauh mana aitem-aitem dalam tes mencakup keseluruhan kawasan
isi yang hendak diukur oleh tes tersebut.
-
Validitas konstruk: menunjukkan sejauh mana suatu tes mengukur trait atau konstruk teoretik yang hendak diukurnya.
-
Validitas kriteria: bukti validitasnya diperlihatkan dengan adanya hubungan skor pada tesyang
bersangkutan dengan skor suatu kriteria (contoh: analisis korelasional) (Azwar,
2011).
Validitas isi, kriteria dan konstrak. Ada lima sumber dasar teori
dalam validitas konstrak, yaitu isi, proses respon, struktur internal, hubungan
terhadap variabel lain, dan akibat. Berikut ini akan diuraikan satu per satu. Konten: melihat hubungan antara isi
pengukuran dengan konstrak ingin diukur. Disini perlu dilihat definisi, tujuan
alat ukur, proses dalam mengembangkan dan memilih aitem, kata-kata dari setiap
aitem, dan kualifikasi penulis. Bukti konten biasanya menyajikan
langkah-langkah terperinci untuk memastikan bahwa alat ukur tersebut telah
mewakili konstrak yang akan dikur (Cook&Beckman,2006). Proses respon yaitu bagaimana pola pikir penulis terhadap
pengukuran yang dilakukan, metode dan keamanan data yang digunakan dalam
pengukuran dan pelaporan juga termasuk dalam kategori ini. Strutur internal
melihat hubungan antara aitem tes dengan tes yang digunakan untu mengukur
konstrak, yaitu apakah aitem-aitem yang penting mungkin dapat memiliki fungsi
yang berbeda pada sekelompo responden. Hal ini bermanfaat apabila responden
secara kategorial memiliki kesamaan, sehingga aitem tes ini diharapkan dapat
menunjukkan perbedaannya dari masing-masing responden. Hubungannya dengan variabel yang lain: melihat hubungan skor tes
dengan pengukuran lain dengan konstrak yang sama.
6. Bagaimana cara
mengukur validitas dan reliabilitas?
Reliabilitas
Pengujian reliabilitas
instrumen dapat dilakukan secara internal dan eksternal (Sugiyono, 2010).
Secara internal, reliabilitas dapat diuji dengan menganalisis konsistensi
butir-butir yang ada pada instrumen dengan teknik internal consistency. Hal ini
dilakukan dengan cara mengujicobakan instrumen sekali saja, kemudian data yang
diperoleh dianalisis dengan teknik belah dua dari Spearman Brown (Split Half), KR-20, KR-21, dan Anova
Hyot (Analisis Varians).
Secara eksternal, pengujian dapat
dilakukan dengan cara berikut:
a. Test-retest. Pengujian test-retest dilakukan
dengan cara mencobakan instrumen yang sama beberapa kali pada responden yang
sama, namun dilakukan dalam waktu yang berbeda. Reliabilitas diukur dari
koefisien korelasi antara percobaan pertama dengan yang berikutnya. Bila koefisien
korelasi positif dan signifikan maka instrumen tersebut sudah dinyatakan
reliabel.
b.
Equvalent. Pengujian dengan
cara ini cukup dilakukan sekali, namun menggunakan dua instrumen yang berbeda,
pada responden yang sama, dan waktu yang sama. Reliabilitas dihitung dengan cara mengkorelasikan antara data instrumen
yang satu dengan data instrumen yang dijadikan equivalent.
c.
Gabungan. Pengujian
dilakukan dengan cara mencobakan dua instrumen yang equivalent beberapa kali kepada responden yang sama. Reliabilitas
diukur dengan mengkorelasikan dua instrumen, kemudian dikorelasikan pada
pengujian kedua, dan selanjutnya dikorelasikan secara silang.
Menurut Jacobs (1991), analisa reliabilitas dapat diukur dengan tiga cara yaitu BEST digitek test
scoring, Spearman Brown, dan Kuder-Richarson 20. Spearman Brown mengukur konsistensi pengambilan aitem. Sedangkan KR-20 mengukur konsistensi
jawaban terhadap semua aitem dan menunjukkan dua sumber kesalahan, yaitu:
pemilihan aitem dan heterogenitas dari sampel. Reliabilitas juga dapat
dijelaskan dengan standar eror pengukuran, yaitu memperkirakan seberapa besar
perubahan nilai individu ketika dilakukan pengulangan tes. Apabila reliabilitas
nilai tes tinggi, maka standar eror pengukuran tersebut rendah.
Validitas
Cara pengujian validitas sebagai berikut (Sugiyono, 2010):
a. Pengujian
validitas konstruk
Pengujian
validitas konstruk dapat menggunakan pendapat para ahli mengenai aspek yang
akan diukur. Kemudian dilakukan ujicoba instrumen
pada sampel dari populasi yang akan digunakan. Setelah data ditabulasikan, maka
pengujian validitas konstruk dilakukan dengan analisis faktor, yaitu dengan
mengkorelasikan antar skor item instrumen dalam suatu faktor, dan
mengkorelasikan skor faktor dengan skor total. Pengujian validitas seluruh
butir instrumen dalam satu variabel dapat juga dilakukan dengan cara mencari
daya pembeda skor tiap aitem dari kelompok yang memberikan jawaban tinggi dan
jawaban rendah. Pengujian analisis daya pembeda dapat menggunakan t-test.
b. Pengujian
validitas isi
Untuk instrumen yang berbentuk tes, pengujian validitas isi dilakukan
dengan membandingkan antara isi instrumen dengan materi pelajaran yang telah
diajarkan. Di sisi lain, pengujian validitas isi dari instrumen yang akan
mengukur efektivitas pelaksanaan program, dapat dilakukan dengan membandingkan
antara isi instrumen dengan isi atau rancangan yang telah ditetapkan. Untuk
menguji validitas butir-butir instrumen lebih lanjut, maka setelah
dikonsultasikan kepada para ahli, selanjutnya diujicobakan, dan dilakukan
analisis aitem atau uji beda.
c. Pengujian
validitas eksternal
Penngujian ini
dilakukan dengan cara membandingkan (untuk mencari kesamaan) antara kriteria
yang ada pada instrumen dengan fakta-fakta empiris yang terjadi di lapangan.
Bila terdapat kesamaan, maka dapat dinyatakan instrumen tersebut memiliki
validitas eksternal yang tinggi.
7. Bagaimana cara
mengembangkan validitas dan reliabilitas sesuai dengan kebutuhan?
Untuk menggunakan validitas yang
diinginkan terlebih dahulu mencari referensi mengenai teori pengukuran yang
akan dipakai, dengan demikian dapat diketahui pengukuran yang akan digunakan
sehingga dapat menghasilkan suatu validitas nantinya (Cook&Beckman, 2006). Selain teknik korelasi, pada reliabilitas
juga berkembang analisis varians skor dan analisis varians eror (Azwar, 2011).
8. Kapan validitas dan
reliabilitas berfungsi/berlaku dan kapan tidak berfungsi?
Reliabilitas
Jika terhadap bagian obyek ukur yang sama, hasil ukur
melalui butir yang satu tidak konsisten dengan hasil ukur melalui butir yang
lain maka pengukuran dengan tes (alat ukur) sebagai suatu kesatuan itu tidak
dapat dipercaya. Dengan kata lain, alat ukur tidak reliabel dan tidak dapat
digunakan untuk mengungkap ciri atau keadaan yang sesungguhnya dari obyek ukur.
Kalau hasil pengukuran pada bagian obyek ukur yang sama antara butir yang satu
dengan butir yang lain saling kontradiksi atau tidak konsisten maka kita tidak
bisa menyalahkan obyek ukur, melainkan alat ukur (tes) yang dipersalahkan
dengan mengatakan bahwa tes tersebut tidak reliabel terhadap obyek yang diukur
(Sugiyono, 2010).
Validitas
Ketika peneliti
mengatakan bahwa suatu indikator itu valid, maka itu valid untuk tujuan dan
definisi tertentu. Indikator yang sama bisa valid untuk satu tujuan (misal
pertanyaan penelitian dengan unit analisis atau secara umum), tetapi bisa
kurang valid atau tidak valid untuk hal yang lainnya. Misalnya dalam mengukur prejudice, bisa valid untuk mengukur prejudice para guru, tapi bisa jadi
tidak valid untuk digunakan dalam mengukur prejudice
dari para polisi. Tidak adanya validitas terjadi jika tidak terdapat
kesesuaian atau kesesuaian yang rendah antara konstruk yang digunakan untuk
menggambarkan, membuat teori atau menganalisis dunia sosial dengan apa yang
sebenarnya terjadi dalam dunia sosial (Neuman, 2007).
9.
Apabila butuh validitas dan reliabilitas, dinaikkan sampai berapa. Kalau
tidak butuh, diturunkan sampai berapa?
Reliabilitas: memperbanyak jumlah aitem,
biasanya dalam soal pilihan ganda terdapat 40 soal, berhati-hati dalam menyusun
aitem yaitu memperjelas maksud dari pertanyaan, perencanaan waktu dalam
pelaksanaan tes karena pengisian yang terburu-buru di akhir waktu bukanlah tes
yang reliabel, dan prosedur tes hendaknya ditulis dengan kalimat yang jelas (Jacobs, 1991).
10. Apa perbedaan hasil
penelitian yang valid dan reliabel dengan instrumen yang valid dan reliabel?
Hasil penelitian yang valid bila terdapat kesamaan antara data yang
terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti,
sedangkan hasil penelitian yang reliabel bila terdapat kesamaan data dalam
waktu yang berbeda.
Di sisi lain, instrumen yang
valid berarti instrumen yang digunakan untuk mendapatkan data bisa mengukur apa
yang seharusnya diukur, sedangkan instrumen yang reliabel adalah instrumen yang
bila digunakan beberapa kali untuk mengukur objek yang sama dapat menghasilkan
data yang sama (Sugiyono, 2010).
11. Bagaimana cara
meningkatkan reliabilitas pengukuran?
Ada empat cara untuk meningkatkan
reliabilitas pengukuran: (1) mengonseptualisasi semua konstruk secara jelas,
(2) menggunakan level pengukuran yang tepat, (3) menggunakan beberapa indikator
dari suatu variabel, dan (4) menggunakan pilot-tets
(pretests, pilot studies, dan
replikasi) (Neuman, 2007).
12. Bagaimana cara
meningkatkan validitas eksternal penelitian?
Dengan cara meningkatkan validitas eksternal dari instrumen dan memperbesar
jumlah sampel (Sugiyono, 2010).
13. Bagaimana hubungan
antara validitas dan reliabilitas?
Reliabilitas diperlukan untuk
pengujian validitas dan lebih mudah untuk dicapai daripada validitas. Meskipun
reliabilitas diperlukan untuk memiliki ukuran yang valid dari suatu konsep, hal
itu tidak menjamin ukuran tersebut bisa berlaku. Suatu ukuran yang reliabel
atau dapat menghasilkan hasil yang sama berulang-ulang, namun belum tentu valid
atau mungkin hasil pengukuran tidak cocok dengan definisi konstruk. Validitas
dan reliabilitas merupakan konsep yang saling melengkapi, namun dalam beberapa
situasi mereka bertentangan satu sama lain. Kadang-kadang, validitas meningkat
namun reliabilitas lebih sulit dicapai, atau sebaliknya. Hal ini terjadi ketika
memiliki definisi konstruk yang sangat abstrak dan tidak mudah diamati.
Reliabilitas paling mudah dicapai ketika ukuran secara tepat dan dapat diamati.
Dengan demikian, ada pertentangan antara esensi sebenarnya dari konstruk yang
sangat abstrak dan mengukurnya secara konkret (Neuman, 2007).
14. Faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi reliabilitas?
a)
Pemilihan aitem. Tes merupakan pemilihan aitem-aitem yang digunakan untuk
mengukur suatu konstrak, dengan demikian pemilihan aitem tersebut dapat menjadi
sumber kesalahan dalam pelaksanaan tes. Untuk meningkatkan konsistensi dapat
memperbanyak pemilihan aitem yang digunakan (Jacobs,1991). Dengan demikian akan
mengurangi responden untuk asal tebak dalam menjawab. Namun aitem ini juga
harus dipertimbangkan kualitas pertanyaannya, karena apabila tidak dan aitem
yang diberikan banyak dapat membuat responden kelelahan.
b)
Penyusunan aitem.
Kalimat yang ambigu atau kurangnya kata dalam suatu kalimat juga dapat
mempengaruhi interpretasi responden sehingga dapat mempengaruhi reliabilitas.
c)
Pemberian
administrasi tes. Kalimat instruksi yang kurang jelas atau suasana yang bising
dapat mempengaruhi responden ketika menjawab.
d)
Penilaian (scoring), pada tes esai memiliki
reliabilitas yang lebih rendah dibandingkan dengan tes pilihan ganda. Karena
pada tes esai, penilai memiliki interpretasi yang berbeda-beda dalam menilai
jawaban responden sehingga lebih bersifat subyektif.
e)
Tingkat kesulitan
dari suatu tes. Nilai dari suatu tes menunjukkan reliabilitas yang baik apabila
nilai tersebut menyebar dari skala yang digunakan dengan demikian dapat
terlihat perbedaan antar siswa. Faktor yang terakhir adalah siswa, dimana
kelelahan, kecemasan, dan siswa sakit dapat menyebabkan reliabilitas yang
rendah karena mempengaruhi kinerja mereka dalam mengerjakan tes (Jacobs,1991).
15. Faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi validitas?
Definisi yang jelas mengenai suatu
konstrak pengukuran (Cook & Beckman, 2006).
Selain itu, faktor-faktor yang juga mempengaruhi yaitu: panjang alat ukur,
variabilitas kemampuan kelompok, instruksi tes yang ambigu, perbedaan
sosio-kultural, penambahan item-item yang tidak tepat.
16.
Bagaimana proses validasi?
Proses validasi melibatkan
pengumpulan bukti-bukti untuk memberikan dasar ilmiah pada interpretasi skor
yang dimaksud (Standards, 1999).
17.
Sebutkan sumber-sumber pembuktian validitas!
a)
Pembuktian yang
didasarkan pada konten pengujian (evidence
based on test content); mengacu pada tema, judul, format aitem-aitem,
tugas, ataupun pertanyaan pada suatu tes, serta pedoman untuk prosedur mengenai
administrasi dan skoring.
b)
Pembuktian yang
didasarkan pada proses-proses respon (evidence
based on response processes); berupa analisis teoritis dan empiris dari
proses respon pengambil tes.
c)
Pembuktian yang
didasarkan pada truktur internal (evidence
based on internal structure); hal ini dapat menunjukkan sejauh mana
hubungan antar item tes dan komponen yang diuji sesuai dengan dasar konstruk
yang digunakan untuk menginterpretasi skor tes.
d)
Pembuktian yang
didasarkan pada hubungannya terhadap variabel lain (evidence based on relations to other variables); dengan
menganalisa hubungan antara skor tes dengan variabel eksternal tes.
e)
Pembuktian yang
didasarkan pada konsekuensi pemberian tes (evidence
based on consequences of testing); dengan menggabungkan
konsekuensi-koneskuensi baik yang diinginkan maupun tidak diinginkan dari
kegunaan tes kedalam konsep validitas, misal kebijakan sosial.
18. Bagaimana cara
menguji validitas dan reliabilitas?
Menurut Sudijono (2009) terdapat berbagai jenis
validitas, antara lain:
1. Pengujian Validitas Tes Secara Rasional
Validitas rasional
adalah validitas yang diperoleh atas dasar hasil pemikiran, validitas yang
diperoleh dengan berpikir secara logis.
a. Validitas Isi (Content
Validity)
Valditas isi berkaitan
dengan kemampuan suatu instrumen mengukur isi (konsep) yang harus diukur. Ini
berarti bahwa suatu alat ukur mampu mengungkap isi suatu konsep atau variabel
yang hendak diukur.
Validitas isi dari suatu
tes hasil belajar adalah validitas yang diperoleh setelah dilakukan
penganalisisan, penelususran atau pengujian terhadap isi yang terkandung dalam
tes hasil belajar tersebut. Validitas isi adalah yang ditilik dari segi isi tes
itu sendiri sebagai alat pengukur hasil belajar yaitu: sejauh mana tes hasil
belajar sebagai alat pengukur hasil belajar peserta didik, isisnya telah dapat
mewakili secara representatif terhadap keseluruhan materi atau bahkan pelajaran
yang seharusnya diteskan (diujikan).
Misalnya test bidang
studi IPS, harus mampu mengungkap isi bidang studi tersebut, pengukuran
motivasi harus mampu mengukur seluruh aspek yang berkaitan dengan konsep
motivasi, dan demikian juga untuk hal-hal lainnya. Menurut Kenneth Hopkin
penentuan validitas isi terutama berkaitan dengan proses analisis logis, dengan
dasar ini Dia berpendapat bahwa validitas isi berbeda dengan validitas rupa
yang kurang menggunakan analisis logis yang sistematis, lebih lanjut dia menyatakan
bahwa sebuah instrumen yang punya validitas isi biasanya juga mempunyai
validitas rupa, sedang keadaan sebaliknya belum tentu benar.
b.Validitas konstruksi (Construct Validity)
Konstruk adalah kerangka
dari suatu konsep, validitas konstruk adalah validitas yang berkaitan dengan
kesanggupan suatu alat ukur dalam mengukur pengertian suatu konsep yang
diukurnya. Menurut Jack R. Fraenkel validasi konstruk (penentuan validitas
konstruk) merupakan yang terluas cakupannya dibanding dengan validasi lainnya,
karena melibatkan banyak prosedur termasuk validasi isi dan validasi kriteria.
Validitas konstruksi
juga dapat diartikan sebagai validitas yang ditilik dari segi susunan, kerangka
atau rekaannya. Adapun secara terminologis, suatu tes hasil belajar dapat dinyatakan
sebagai tes yang telah memiliki validitas konstruksi, apabila tes hasil belajar
tersebut telalh dapat dengan secara tepat mencerminkan suatu konstruksi dalam
teori psikologis.
2. Pengujian Validitas Tes Secara Empirik
Validitas empirik adalah
ketepatan mengukur yang didasarkan pada hasil analisis yang bersifat empirik.
Dengan kata lain, validitas empirik adalah validitas yang bersumber pada atau
diperoleh atas dasar pengamatan di lapangan.
a. Validitas
ramalan (Predictive validity)
Validitas ramalan adalah suatu kondisi yang menunjukkan
seberapa jauhkah sebuah tes telah dapat dengan secara tepat menunjukkan
kemampuannya untuk meramalkan apa yang bakal terjadi pada masa mendatang.
Contohnya apakah test masuk sekolah mempunyai
validitas ramalan atau tidak ditentukan oleh kenyataan apakah terdapat korelasi
yang signifikan antara hasil test masuk dengan prestasi belajar sesudah menjadi
siswa, bila ada, berarti test tersebut mempunyai validitas ramalan.
b. Validitas
bandingan (Concurrent Validity)
Tes sebagai alat pengukur dapat dikatakan telah memiliki
validitas bandingan apabila tes tersebut dalam kurun waktu yang sama dengan
secara tepat mampu menunjukkan adanya hubungan yang searah, antara tes pertama
dengan tes berikutnya.
Reliabilitas instrumen dapat diuji dengan dua cara, yaitu uji reliabilitas
eksternal dan internal. Dengan pengertian bahwa jika ukuran atau kriterianya
berada di luar instrumen, maka dari hasil pengujian ini diperoleh reliabilitas
eksternal, sedangkan reliabilitas internal diperoleh berdasarkan data dari
instrumen saja.Untuk menguji reliabilitas eksternal : teknik paralel (double
test double trial). Dengan menggunakan teknik ini peneliti menyusun dua
perangkat instrumen. Kedua instrumen tersebut sama-sama diuji cobakan kepada
sekelompok responden saja (responden mengerjakan dua kali) kemudian hasil dua
kali tes uji coba tersebut dikorelasikan dengan korelasi Pearson.
19. Bagaimana cara
pengujian reliabilitas hasil ukur skala psikologi?
Pengujian reliabilitas terhadap
hasil ukur skala psikologi dapat dilakukan bilamana item-item yang terpilih
lewat prosedur analisis item telah dikompilasikan menjadi satu (Azwar, 2008).
20. Bagaimana aplikasi
dalam menyatakan reliabiltas?
Reliabilitas dinyatakan oleh
koefisien reliabilitas (rxx’) yang angkanya berada dalam rentang
dari 0 sampai dengan 1,00, dimana koefisien reliabiltas semakin mendekati 1,00
maka semakin tinggi reliabilitasnya, begitu pun sebaliknya (Azwar, 2008).
21. Apakah Koefiisien
validitas dan koefisien reliabilitas
a.
Validitas: hasil estimasi validitas suatu
pengukuran yang dinyatakan secara empirik biasanya dinyatakan dengan korelasi
antara distribusi skor tes dengan distribusi skor kriteria. Contoh apabila
distribusi skor tes x dan skor kriteria adalah y, sehingga koefisien
validitasnya adalah rxy. Koefisien validitas hanya memiliki makna apabila
mempunyai nilai positif. Semakin mendekati 1,00 maka hasil tes semakin valid.
b.
Reliabilitas: Koefisien reliabilitas adalah
tinggi-rendahnya reliabilitas yang dapat dilihat melalui korelasi antara dua
dsitribusi skor dari dua alat ukur yang paralel yang dikenakan pada sekelompok
individu yang sama. Semakin tinggi korelasi antara hasil ukur dari dua tes yang
paralel, maka akan semakin konsisten dan dapat dikatakan sebagai alat ukur yang
reliabel. Lambang dari korelasi paralel tersebut adalah rxx’, dimana skor x
adalah tes pertama dan x’ untuk tes yang kedua. (Azwar, 2011).
22. Jelaskan makna dari
koefisien validitas dan reliabilitas!
a)
Interpretasi
koefisien validitas dan reliabilitas keduanya bersifat relatif, dalam hal ini
pada umumnya estimasi validitas berkisar 0,50 dapat dianggap memuaskan,
sedangkan koefisien validitas kurang dari 0,30 biasanya dianggap tidak
memuaskan.
b)
Pada umumnya,
reliabilitas dapat dianggap memuaskan apabila koefisiennya minimal mencapai rxx’
= 0,900, namun terkadang suatu koefisien tidak mencapai nilai tersebut
dan masih dianggap cukup berarti dalam suatu kasus tertentu terutama apabila
skala yang bersangkutan digunakan bersama-sama dengan tes lain dalam suatu
perangkat pengukuran (battery test)
(Azwar, 2008).
23.
Sebutkan hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam menginterpretasi koefisien reliabilitas!
Terdapat dua hal
yang perlu diperhatikan dalam menginterpretasikan koefisien reliabilitas, yaitu
sebagai berikut (Azwar, 2008):
a. Interpretasi koefisien reliabilitas bernilai
spesifik bagi hasil ukur pada kelompok individu tertentu saja
b. Koefisien
reliabilitas hanya mengindikasi besarnya inkonsistensi skor hasil pengukuran,
bukan menyatakan secara langsung penyebab inkonsistensi tersebut.
24. Jelaskan perbedaan
validitas internal dan validitas eksternal?
Djaali (2000, dalam Matondang, 2009)
validitas internal (validitas butir) termasuk kelompok validitas kriteria yang merupakan validitas
yang diukur dengan besaran yang menggunakan tes sebagai suatu kesatuan
(keseluruhan butir) sebagai kriteria untuk menentukan validitas butir dari tes
itu. Dengan demikian validitas internal mempermasalahkan validitas butir dengan
menggunakan hasil ukur tes tersebut sebagai suatu kesatuan sebagai kriteria,
sehingga biasa juga disebut validitas butir. Validitas internal diperlihatkan
oleh seberapa jauh hasil ukur butir tersebut konsisten dengan hasil ukur tes
secara keseluruhan. Oleh karena itu validitas butir tercermin pada besaran
koefisien korelasi antara skor butir dengan skor total tes. Jika koefisien
korelasi skor butir dengan skor total tes positif dan signifikan maka butir
tersebut valid berdasarkan ukuran validitas internal. Koefisien korelasi yang
tinggi antara skor butir dengan skor total mencerminkan tingginya konsistensi
antara hasil ukur keseluruhan tes dengan hasil ukur butir tes atau dapat
dikatakan bahwa butir tes tersebut konvergen dengan butir-butir lain dalam
mengukur suatu konsep atau konstruk yang hendak diukur. Validitas internal untuk skor butir dikotomi digunakan koefisien
korelasi biserial (rbis).
Validitas eksternal dapat berupa hasil
ukur tes baku atau tes yang dianggap baku dapat pula berupa hasil ukur lain
yang sudah tersedia dan dapat dipercaya sebagai ukuran dari suatu konsep atau
variabel yang hendak diukur. Validitas eksternal diperlihatkan oleh suatu
besaran yang merupakan hasil perhitungan statistika. Jika kita menggunakan
basil ukur tes yang sudah baku sebagai kriteria eksternal, maka besaran
validitas eksternal dari tes yang kita kembangkan didapat dengan jalan
mengkorelasikan skor hasil ukur tes yang dikembangkan dengan skor hasil ukur
tes baku yang dijadikan kriteria. Makin tinggi koefisien korelasi yang didapat,
maka validitas tes yang dikembangkan juga makin baik. Kriteria yang digunakan untuk
menguji validitas eksternal digunakan nilai r-tabel. Jika koefisien korelasi
antara skor hasil ukur tes yang dikembangkan dengan skor hasil ukur tes baku
lebih besar daripada r-tabel maka tes yang dikembangkan adalah valid
berdasarkan kriteria eksternal yang dipilih (hasil ukur instrumen baku). Jadi
keputusan uji- validitas dalam hal ini adalah mengenai valid atau tidaknya tes
sebagai suatu kesatuan, bukan valid atau tidaknya butir tes seperti pada
validitas internal.
25. Jelaskan perbedaan
reliabilitas berdasarkan kosistensinya?
Djaali (2000, dalam Matondang, 2009) menyatakan bahwa reliabilitas
dibedakan atas dua macam, yaitu reliabilitas konsistensi tanggapan, dan
reliabilitas konsistensi gabungan butir. Reliabilitas konsistensi tanggapan
responden mempersoalkan apakah tanggapan responden atau obyek ukur terhadap tes
atau instrumen tersebut sudah baik atau konsisten. Dalam hal ini apabila suatu
tes atau instrumen digunakan untuk melakukan pengukuran terhadap obyek ukur
kemudian dilakukan pengukuran kembali terhadap obyek ukur yang sama, apakah
hasilnya masih tetap sama dengan pengukuran sebelumnya. Jika hasil pengukuran
kedua menunjukkan ketidakkonsistenan maka jelas hasil pengukuran itu tidak
mencerminkan keadaan obyek ukur yang sesungguhnya.
26. Sejauhmana validitas
dan reliabilitas dapat dipercaya?
Reliabilitas: dalam konsep reliabilitas hasil ukur dapat dipercaya apabila dalam
beberapa kali pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil
yang sama, apabila aspek yang diukur dalam diri subjek belum berubah
(Azwar,2011).
27. Bilamana validitas
dan reliabilias dikatakan tinggi atau rendah ?
a.
Validitas: suatu tes dapat dikatakan memiliki
validitas yang tinggi apabila tes tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau
memberikan hasil ukur yang tepat dan akurat sesuai dengan tujuan dari
pengukuran. Sedangkan suatu tes yang tidak menghasilan data yang relevan sesuai
dengan tujuan dari tes tersebut, maka validitas tes tersebut rendah (Azwar,
2011).
b.
Reliabilitas: Namun dalam reliabilitas
dikatakan tinggi apabila hasil pengukuran yang dihasilkan dari tes tidak
menunjukkan perbedaan yang besar dari waktu ke waktu (Azwar, 2011).
28. Bagaimana
menghasilkan validitas yang baik dan dapat digunakan ?
Validitas: apabila tes tersebut memiliki
kecermatan yang tinggi, yaitu mampu mendeteksi perbedaan-perbedaan kecil yang
ada pada atribut yang sedang diukur (Azwar, 2011).
29. Mengapa validitas dan
reliabilitas terkadang berbeda antara di lapangan dengan teori ?
Reliabilitas: Secara teori reliabilitas
menunjukkan nilai tes yang bebas dari kesalahan pengukuran (error measurement), namun dalam kenyataannya tidak ada
reliabilitas yang sempurna. Hal ini disebabkan adanya kesalahan acak (random errors) dimana terdapat variasi
nilai yang tidak konsisten dari waktu ke waktu atau antar situasi (Jacobs,
1991).
30. Bagaimanakah
validitas dan reliabilitas mempengaruhi hasil penelitian?
Instrumen yang valid dan reliabel merupakan syarat
untuk memperoleh data-data yang valid. Data-data inilah yang kemudian
dianalisis dalam rangka mencari kesimpulan penelitian. Apabila sebuah instrumen
memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi dan sudah teruji maka akan
diperoleh data-data yang mendukung hasil penelitian. Semakin valid dan reliabel instrumen yang digunakan, maka hasil penelitian
akan semakin valid dan reliabel.
31. Bagaimana ketika
validitas tinggi, reliabilitas rendah?
Validitas tinggi
menandakan bahwa item atau alat ukur tersebut benar-benar sudah mengukur
konstruk yang ditetapkan untuk diukur. Sedangkan reliabilitas rendah dalah
ketika alat ukur tersebut tidak mampu menghasilkan nilai yang konsisten (ajeg)
ketika di ukur pada situasi yang berbeda dari sebelumnya.
Pada tes-tes yang
bermaksud memprediksi sebuah kriteria tertentu, (predictive-criterion related) validitas menjadi lebih penting daripada
reliabilitas. Ketika nilai validitas memuaskan, maka rendahnya nilai
reliabilitas tidak akan menjadi masalah. Contohnya : Tes-tes kreativitas.
32. Bagaimana ketika
reliabilitas tinggi dan validitas rendah?
Reliabilitas tinggi menunjukkan bahwa sebuah instrumen atau alat ukur yang
ada dapat secara konsisten (ajeg) mengukur sebuah konstruk yang ingin diukur
dari waktu ke waktu atau apada berbagai situasi. Sedangkan nilai validitas yang
rendah memperlihatkan sebuah instrumen yang tidak bisa menggambarkan atau tidak
dapat benar-benar mengukur konstruk yang ingin diukur.
Apabila reliabilitas
tinggi dan validitas rendah, maka instrumen atau alat ukur tersebut terbukti
mampu menghasilkan nilai yang konsisten pada berbagai situasi, namun belum
dapat memperlihatkan ketajaman pengukuran atas konstruk atau sesuatu yang ingin
diukur
33. Bagaimana cara
meningkatkan validitas?
Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan
validitas paras suatu instrumen:
1. Pemanfaatan
Soal
Naskah awal dari instrumen diperiksa oleh suatu kelompok
evaluator, misalnya pembimbing tesis, ahli pembuat tes, dan para tenaga
profesional yang berpengalaman dalam bidangnya.
2. Konsistensi Antarpenilai
Naskah awal yang telah diperiksa oleh para ahli tersebut
diberi tanda, mana yang layak dan tidak layak. Kemudian, dipilah dan diseleksi
mana yang paling cocok untuk dijadikan alat ukur atau instrumen. Tentu saja,
layak atau tidak layaknya instrumen tersebut dilihat dari hasil penilaian para
ahli secara konsisten dan objektif.
Selanjutnya, validitas dalam kaitannya dengan pengujian (testing)
dan penilaian (assessment), Linn dan Gronlund (1985: 49) menegaskan ada
sejumlah pertimbangan yang perlu diperhatikan: pertama, validitas
mengacu kepada ketepatan interpretasi hasil dari suatu prosedur penilaian
terhadap sekelompok individu; bukan kepada prosedur itu sendiri. Kedua,
validitas memiliki perihal derajat tertentu dengan kategori-kategori: validitas
tinggi (high validity), validitas sedang (moderate validity), dan
validitas rendah (low validity). Ketiga, validitas
senantiasa mengacu kepada kegunaan atau interpretasi yang spesifik; tidak ada
penilaian yang valid untuk semua kegunaan. Keempat, validitas
adalah kesatuan konsep yang didasarkan atas berbagai macam bukti yang
muncul. Kelima, validitas merupakan sistem
evaluasi secara terpadu dan menyeluruh (overall evaluative
judgement). Di samping itu, Linn dan Gronlund menyarankan agar dalam
membuat interpretasi dan menggunakan hasil penilaian memperhatikan
pertimbangan-pertimbangan mendasar, seperti isi (content),
hubungan-hubungan kriteria tes (test-criterion relationships), construct yaitu
faktor-faktor yang mempengaruhi hasil atau prestasi (performance). dan
konsekuensi atau akibat yang bakal terjadi (consequence).
34.
Bagaimana cara meningkatkan reliabilitas?
Reliabilitas yang rendah dapat terjadi karena inkonsistensi pengamat,
ketidakstabilan atribut dari subjek yang diukur dan situasi pengukuran yang
tidak mendukung. Cara untuk meningkatkan reliabilitas adalah sebagai berikut:
1. Memilih item-item
pertanyaan untuk alat ukur, lalu menguji konsistensi internal dan stabilitas
alat ukur melalui suatu uji coba (pilot
study).
2. Menghilangkan
variasi pengukuran antar-pengamat, dengan menggunakan orang-orang terlatih dan
termotivasi
3. Menghilangkan
variasi pengukuran intra-pengamat, dengan mengurangi sumber variasi eksternal
seperti kejemuan,kelelahan, lingkungan berisik, yang berpengaruh kepada subjek
penelitian maupun pengamat
4. Melakukan koreksi
terhadap pengamat, berdasarkan “kalibrasi” alat ukur dalam studi reliabilitas
5. Membakukan
situasi/konteks/lingkungan penggunaan instrument
Disusun oleh :
Dilla Ima Wati
(1114141530005) - Muhithah Ulin Nuha (111414153015) - I Gusti Agung Komang
Yulia Dewi (111414153018) - Rosita Permatasari (111414153020) - Pratiwi Setiadi
(111414153029) - Hielma Hasanah (111414153030) - Nurdila Triastuti
(111414153036) -Diyana Rochmawati (111414153038)
Dibawah bimbingan : Dr.Cholichul Hadi, Drs., M.Si
DAFTAR PUSTAKA
_________. (1999). Standards: Educational and psychological testing. Washington: American Educational Research Association.
Anastasi, A., & Urbina, S. (1998).
Tes Psikologi (Edisi Terjemahan).
Jakarta: PT. Prenhallindo.
Azwar, S. (2008). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2011). Tes Prestasi: Fungsi dan
pengembangan pengukuran prestasi belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Cook, D. A. & Beckman, T. (2006). Current concept validity and
reliability for psychometric instrument: Theory and
application. The American Journal of
Medicine.
Isaac, Stephen.,
Michael, William B., (1985), Handbook in
Research and Evaluation, California,
Edits publishers
Jacobs, L. C.
(1991). Test Reliability. IU Bloomington evaluation service & testing. Diakses pada tanggal 7 November 2014 dari www.indiana.edu.
Matondang, Z. (2009). Validitas dan
reliabilitas suatu instrumen penelitian.
Jurnal
Tabularasa PPS Unimed, 6 (1), 87-97.
Neuman, W. L.
(2007). Basic of social research:
Qualitative and quantitative qpproaches, second edition. Pearson Education,
Inc.
Murti, Bhisma,
Prof, dr, MPH, Msc, Phd. (2011) Validitas dan
Reliabilitas Pengukuran. Universitas Negeri Semarang: Tidak Dipublikasikan
Setyawan, Imam. (2011) Diktat
Psikometri. Universitas Diponegoro: Tidak Dipublikasikan
Sujarwadi, Sri (2011). Valditas dan
Reliabilitas Instrumen Penelitian. Universitas Negeri Jakarta: Tidak
dipublikasikan
Sugiyono. (2004). Statistika untuk Penelitian.
Bandung: CV. Alfabeta.
Sugiyono. (2010). Metode penelitian
pendidikan: Pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Widodo, P. B. (2006). Reliabilitas dan validitas konstruk skala konsep diri
untuk mahasiswa Indonesia. Jurnal Psikologi
Universitas Diponegoro, 3 (1), 1-9.
Langganan:
Postingan (Atom)