Kamis, 10 September 2015

Media Televisi, kawan ataukah lawan bagi keluarga? *

Diyana Rochmawati, S.Psi **




Televisi, sejak 30 tahun terakhir sudah bukan menjadi barang mewah bagi masyarakat Indonesia. Bahkan, saat ini setiap rumah atau setiap keluarga selalu memiliki televisi. Dan rata-rata televise yang ada merupakan telivisi dengan tekhnologi terkini.
Sudah lama terjadi perdebatan, tentang manfaat televise bagi keluarga. Sebagian pakar pendidikan menyajikan beberapa penelitian tentang bahaya televisi. Namun hal tersebut belum mampu menggoyahkan kebutuhan hiburan televisi dalam keluarga. AAP (American Academic Pediatrics) dalam salah satu jurnalnya menyarankan setiap anak diatas 2 tahun hanya boleh melihat televise maksimal 2 jam dalam sehari. Dan kesempatan 2 jam tersebut hanya boleh digunakan untuk melihat program-program yang mendidik dan membangun karakter anak.

Mengapa demikian?

Karena beberapa penelitian juga menyebutkan beberapa akibat buruk yang ditimbulkan apabila seorang anak lebih banyak menghabiskan waktu bersama televise. 

Diantaranya :
1.       Gangguan konsentrasi. Televisi menyajikan berbagai macam spektrum warna dan perubahan tayangan yang begitu beragam durasinya. Bahkan disinyalir seorang anak hanya mampu mempertahankan perhatian, sesuai dengan durasi iklan.

2.       Gangguan bahasa. Beberapa tayangan televisi memperlihatkan dialog-dialog yang kurang dapat merangsang perkembangan bahasa seorang anak. Terutama tayangan film anak-anak yang dengan tokoh binatang.

3.       Obesitas. Dengan banyak menghabiskan waktu didepan televisi, seorang anak jarang melakukan aktivitas fisik (bergerak) dan ngemil. Hal ini yang dapat menimbulkan kasus obesitas pada sebagian anak-anak

4.       Gangguan relasi sosial. Kenyamanan berada didepan televisi, membuat anak hanya berinteraksi dengan televisi dan mengurangi kesempatan membangun relasi pertemanan dengan sebayanya. Ia menjadi canggung, kurang dapat mengawali pembicaraan atau mungkin kurang dapat berempati terhadap apa yang dirasakan temannya. Disamping itu relasi dengan anggota keluarga yang lain pun akan terganggu

5.       Gangguan Belajar. Secara tidak langsung, durasi melihat televisi yang lama akan membuat seorang anak kurang bersemangat untuk belajar atau mengulang pelajarannya, akibatnya prestasi sekolah akan menurun.

6.       Perilaku agresif. Tayangan-tayangan di televisi yang menyajikan kekerasan, jika tanpa pendamp[ingan akan ditelan mentah-mentah oleh anak yang menontonnya. Dan anak sebagai peniru ulung akan mempraktikkan apa yang dilihatnya tersebut

Demikianlah beberapa dampak buruk yang mungkin muncul jika kita tidak melakukan pembatasan atau pendampingan bagi anak-anak kita dalam memanfaatkan media televisi sebagai media hiburan yang tergolong murah saat ini.
Namun peniadaan televisi juga bukan solusi. Ketika kita semena-mena meniadakan televisi di rumah, sang anak akan dengan mudah mendapatkan televise, di fasilitas umum, atau di rumah temannya. Akan sama bahayanya jika kita tidak mengarahkan atau melakukan pendampingan.
Tidak dapat dipungkiri, beberapa content televisi masih kita butuhkan. Selain menghibur, kita juga harus pandai memanfaatkan televisi sebagai media pendidikan bagi anak-anak kita. Jadi yang diperlukan saat ini adalah pemilihan program yang tepat dan pendampingan yang intens.

*) disampaikan pada talkshow sam fm, 8 Sept 2015
**) Ibu rumah tangga, yang mencoba memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anaknya di rumah.
Praktisi ilmu psikologi, yang saat ini masih terus belajar perkembangan ilmu psikologi.


Rabu, 06 Mei 2015

Syukur atas anak...

SYUKUR IBU...


Malam pun semakin larut…dan sayapun masih sulit memejamkan mata..
Teringat banyak hikmah yang ingin saya bagi dan menari—nari pada pengantar tidur saya malam ini..
Semua ini tentang kebaikan dan karunia Allah yang tiada terkira..
Terutama terkait dengan keberadaan anak-anak saya sebagai titipanNya
Segala Puji Hanya Bagi Mu Ya Allah...Allah Maha Pemurah & Pengasih..

Menjadi Ibu sejatinya adalah berkah tak ternilai bagi wanita karena masih banyak wanita yang belum berkesempatan dipanggil ibu..
Lebih jauh lagi ketika kita memandang anak-anak kita yang luar biasa, sehat lahir batin dan tidak menampakkan hambatan atau kelainan..sungguh itu adalah nikmat yang sangat tak terkira.

Sebagian ibu di percaya dengan anaknya yang mengalami ”autis”, anak dengan respon emosi yang meluap, relatif sulit berkomunikasi, kurang dapat mengelola emosinya, kurang dapat mengatur dirinya, dan banyak hal lainnya yang menurut saya menguji kesabaran ibunya..
Memandang anak-anak saya...alhamdulillah...mereka masih membalas senyum saya..menerima pelukan hangat saya, komunikatif dan memahami ketika kami saling bercerita serta cukup mampu mengembangkan relasi..
Betapa nikmat tak terkira dari Allah yang sepatutnya kita syukuri

Sebagian orang tua lagi dipercaya dengan anak-anaknya yang ”retardasi mental”. Apa sih itu..adanya penurunan usia atau kemampuan mental yang tidak sesuai dengan usia sesunggunhya. Misalkan anak dengan usia 8 tahun, tapi ia hanya dapat menguasai tugas-tugas usia 2 tahun atau 3 tahun. Dampaknya, jelas saja mereka akan mengalami kesulitan untuk mandiri, menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah serta tuntutan akademis, dan lain sebagainya. Bahkan kemarin saya menemui anak setingkat kelas 2 SMP belum dapat mengenal huruf satupun..
Sekali lagi..melihat anak-anak saya yang tumbuh dan berkembang sesuai usianya..sungguh satu nikmat besar lagi yang harus banyak kami syukuri. Sesekali mereka mengalami perlambatan penguasaan suatu tugas, namun dengan latihan, mereka mampu mengejarnya.
Maka Nikmat Allah mana lagi yang kamu dustakan..

Beberapa Ibu diberi amanah anak-anak dengan kecenderungan sulit diatur, berkata kasar, tidak pernah pulang atau bahkan terlibat tindak kriminal atau narkoba..
Suatu waktu, saya menjumpainya pada anak seusia anak saya yang besar yaitu kelas 6 SD. Pada usianya itu, setiap harinya ia pulang sekolah paling sore jam 10 malam, mengumpat dan berkata kasar pada orang tua, mencuri uang orang tua dan kakaknya, mulai merokok bahkan sekali tertangkap mencoba oplosan pil..
Hati orang tua mana yang tidak terluka...
Alhamdulillah....anak-anak saya masih sewajarnya anak-anak..masih memiliki ketakutan melanggar aturan.

Disinilah...ketika kita mungkin kesal dengan perilaku anak-anak kita (manusiawi), kita harus selalu mengingat...bahwa masih banyak kenikmatan, kelebihan pada anak-anak kita yang harus kita syukuri..

Allah pasti membekali setiap insan dengan kelebihan dan kelemahan, dan mengetahui ada beberapa anak yang mungkin dianggap ”kurang beruntung” seperti beberapa contoh diatas, maka tidak ada alasan bagi kita untuk menyia-nyiakan anak-anak kita dan tidak mensyukurinya..

Sekalipun banyak rahasia Allah dibalik ujian para orangtua dengan anak-anak berkebutuhan khusus diatas, namun apa yang ada dihadapan kita saat ini, anak-anak yang sehat lahir batin, sudah seharusnya kita syukuri, sayangi, pelihara hingga Yang Mempercayakan memutuskan..


Wallahu A’lam...

06052015 ~ 00.47 Suatu malam menjelang ujian seminar ABK...


Kamis, 23 April 2015

TV, sebagai teman atau lawan?



Text Box: Televisi sebagai teman atau lawan bagi anak??

Beberapa hari yang lalu saya mendengar keluhan salah seorang guru TK tentang perubahan perilaku anak-anak dengan menirukan perilaku tokoh-tokoh kartun di televisi yang mengarah pada kekerasan. Dan sehari-hari sering kita melihat anak-anak berperilaku seperti yang ditayangkan di televisi. Hal ini cukup memprihatinkan ketika perilaku yang ada mengganggu dan menyakiti baik dirinya maupun orang lain.

Anak sebagai peniru ulung, pembelajar cepat tidak diragukan lagi. Dengan daya serapnya yang tinggi anak akan dengan mudah menerima, menyerap dan menyimpan berbagai informasi yang dilihat, didengar dan dirasakannya. Apalagi, jika informasi tersebut mampu menyentuh area emosi anak, maka anak akan dengan cepat dan mudah menyerapnya. Ketika anak bahagia anak akan dengan mudah mempelajari sesuatu.

Terkait dengan acara televisi, yang sarat dengan gambar atau animasi yang menarik dan menyenangkan bagi anak, maka menjadikan anak bertahan menerima semua informasi. Dan ditunjang suasana hati yang menyenangkan, dapat kita bayangkan betapa anak akan dengan sukarela dan sepenuh hati menerima dan menyerap informasi yang ada.

Dan hal inilah salah satu tantangan bagi orang tua bagaimana menyikapi informasi yang disampaikan melalui televisi. Bagaimana setiap informasi yang diterima anak mampu mendukung perkembangan anak. Bagaimana orang tua membimbing anak untuk mampu cerdas memilih info yang tepat untuk usianya dan mengambil makna yang positif serta mengoptimalkan perkembangan usianya.

Tidak mudah bahkan sebagian orang tua menganggap sangat tidak mungkin untuk tidak mengenalkan televisi pada anak. Yang terpenting disini adalah melakukan pendampingan dalam pengenalan televisi tersebut. Pendampingan itu tidak selalu harus difokuskan pada kehadiran ayah atau ibu ketika anak melihat televise, meski itu juga penting. Akan tetapi bagaimana orang tua selalu mengembangkan komunikasi dan diskusi tentang acara-acara yang dilihat oleh anak.

Diskusi yang mendalam sehingga menemukan pesan dari sebuah materi informasi yang ada di televisi akan membekali anak dalam memilah acara-acara televisi yang ada. Komitmen orang tua sangat penting dalam hal ini. Dan seperti dikatakan diatas bahwa anak sebagai peniru ulung, tidak menutup kemungkinan ketika kita memberikan contoh perilaku tidak terlalu terikat pada acara televisi anak pun akan melihatnya sebagai contoh dan akan ditiru.

Anak sebagai asset termahal orangtua sudah selayaknya dijaga..:)


Selasa, 14 April 2015

wanita mulia dimata Allah...



Kemuliaan seorang wanita menurut Al-Qur’an


Hasil gambar untuk gambar animasi ibu
Kita mungkin pernah membaca atau mendengar cerita tentang sahabat Nabi yang seorang pemberani, yang menerima julukan sebagai singa padang pasir yaitu Sayyidina Umar Bin Khattab RA. Mendengar keberaniannya, kecerdikannya, ketegasannya, keadilannya bahkan mungkin kelembutannya. Dan dibalik julukan sayyidina Umar yang tegas dan berani serta keras, beliau juga memperlihatkan sikap yang lembut dan tawadhu’ kepada istrinya.
Suatu waktu, seorang sahabat ingin mengeluhkan perilaku istrinya yang ”cerewet” kepada amirul mu’minin yang saat itu dijabat oleh sayyidina Umar. Namun ketika sampai didepan pintu rumah Sayyidina Umar, sahabat tersebut menyaksikan sang amir sedang diam dan mendengarkan dengan sabar sang istri yang saat itu mungkin sedang berbicara panjang (mengomel). Sahabatpun terdiam dan menanyakan kepada sang Amir, mengapa beliau hanya diam saja diperlakukan istrinya seperti itu, padahal sang Amir terkenal sebagai sosok yang tegas dan keras. Sayyidina Umar pun menjawab, ”aku tidak mungkin menganiaya istriku lagi dengan hujatan atau ucapan keras sebab ia telah :
1. Memasakkan makananku
2. Membuatkan kue untukku dan anak-anakku
3. Mencucikan pakaianku
4. Mengasuh dan menyusui anak-anakku ”
Apa yang dapat kita simpulkan dari cerita diatas adalah bahwa sayyidina Umar memuliakan istrinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang terkait ”dapur, sumur dan kasur”. Pekerjaan-pekerjaan yang mungkin saat ini dipandang remeh dan melelahkan serta tidak mulia. Sesungguhnya wanita mulia dari pekerjaan-pekerjaan tersebut.
Dalam Al Qur’an, QS Al Ahzab 33, Allah memerintahkan wanita (istri-istri nabi) hendaklah tetap di rumah, taat kepada Allah dan rasul serta dengan di rumah, Allah akan menghilangkan dosa-dosa kita.
Jelas bagi seorang wanita apalagi ibu, karir utama dan wajibnya adalah di rumah, sebagai pelayan utuh untuk keluarganya serta pendidik bagi anak-anaknya. Karir di luar akan menjadi sunnah jika memang sangat dibutuhkan untuk menopang ekonomi keluarga. Namun dapat menjadi mubah ketika hanya ditujukan untuk aktualisasi diri dan dapat menjadi haram ketika kita berkarir diluar banyak bersentuhan dengan lawan jenis dan mengganggu stabilitas keluarga.
Wahai para wanita...jangan ragu berkarir di rumah. Sebagai istri dan ibu bagi keluarga. Karena kemuliaan kita dihadapan Allah berada disana.

Ta’lim pagi bersama Ust. Jun,150415

Selasa, 31 Maret 2015

Ayah dalam pendidikan anak..



Ayah…kau sangat berarti…


Berbicara tentang pendidikan anak, tidak pernah ada habisnya dan objek utama selain anak adalah keterlibatan orang tua dalam mendidik ananda. Pendidikan, tidak hanya berbicara lembaga formal. Tapi juga berkaitan dengan perang orang-orang sekitar ananda, lingkungan, serta komitmen orang tua pada pendidikan ananda. Pesan Ki Hajar Dewantara : “Pokoknya pendidikan harus terletak dalam pangkuan ibu bapa, karena hanya dua orang inilah yang dapat berhamba pada sang anak dengan semurni-murninya dan seikhlas-ikhlasny, sebab cinta kasihnya kepada anak-anaknya boleh dibilang cinta kasih tak terbatas.” (Pendidikan, 382)

Nah…ayah…ayah pun memiliki peran yang sangat signifikan dalam proses pendidikan ananda. Keterlibatan ayah sejak awal pada keberadaan dan kesejahteraan ananda memiliki dampak yang positif baik bagi ayah maupun bagi anak. Anak-anak yang cukup matang secara emosi, memahami bagaimana dan kapan mengekspresikan emosi secara tepat, dipengaruhi oleh keterlibatan ayah dalam proses pengasuhannya.

Ayah berperan sebagai figur, contoh dan panutan. Kehadiran ayah sangatlah penting bagi anak, bahkan sejak dalam kandungan. Ketika bayi mulai lahir, keterlibatan ayah dalam perawatan juga membuat terciptanya kelekatan hubungan antara ayah dan anak. Dan ini disinyalir akan membentuk karakter positif bagi ayah dan anak tersebut.

Ayah..juga berperan penting dalam menghapus buta huruf dini. Seorang ayah yang memiliki kesempatan dan waktu untuk membacakan sebuah cerita untuk anaknya akan merangsang anak untuk banyak bertanya, berdiskusi dan berkomunikasi. Hal inilah yang terpenting bagi perkembangan bahasa anak.

Dalam Islam, ayah memiliki peran pendidik dan penanggungjawab keluarga. Sebagai pendidik, ayah haruslah mengajak anak-anaknya untuk mengenal nilai-nilai, memberikan teladan bagaimana bersikap baik dan mengarahkan untuk menjadi pribadi yang nantinya mampu memberikan kemanfaatan bagi umat. Sebagai penanggungjawab, seorang ayah, bertanggungjawab sepenuhnya atas perilaku anaknya baik yang positif maupun yang negatif, secara hukum didunia dan diakhirat.

Jadi…seorang anak selalu membutuhkan sosok ayah..
Maka ayah…selalu jadi yang terbaik ya buat sang anak…
Semangaaattt...

Sabtu, 28 Februari 2015

Idealisme



IDEALISME?? ..Bagaimana menyikapinya..

Hasil sharing sore bersama sahabat lama…terimakasih..

Sebagai seorang individu, bahkan manusia yang berpendidikan, kita memiliki idealisme tersendiri dalam menyikapi sebuah sistem atau fenomena masalah. Kita memiliki argumen-argumen tertentu berdasarkan pemikiran dan mungkin sedikit pengetahuan kita tentang hal tersebut. Dan kita berupaya mempresentasikannya dalam sikap, berbicara bahkan mungkin tingkah laku yang kita rasa dapat mengungkapkan idealisme kita.

Sebagai makhluk sosial, kita tidak terlepas dalam hubungan dengan manusia lain. Bahkan kita ada didunia ini pun melibatkan Ibu dan ayah kita. Manusia lain bukan?..ketika idealisme kita bertabrakan dengan idealisme orang lain, bagaimana sikap kita?
Mempertahankan mati-matian?
Bersikap fleksibel dan menyesuaikan?
Atau kita membunuh idealisme kita?

Sudah jamak dipahami bahwa manusia yang berhasil relasi sosialnya adalah ia yang dapat diterima. Penerimaan terhadap orang tersebut bukan tanpa alasan, tapi bagaimana orang tersebut membawa diri dan idealismenya sebagai sebuah paket yang nyaman didengar dan dipandang orang merupakan alasan terpenting bagi orang tersebut untuk dapat diterima dan dikenang

Mempertahankan idealisme mati-matian, dapat berbagai macam caranya. Ada yang memang ia memaksa sebagian orang mengikuti keinginannya atau ia memilih mengundurkan diri dari komunitasnya dalam rangka mempertahankan idealismenya.
Keduanya pilihan, ketika kita memaksa, refleksikan itu dalam diri anda. Apakah memang idealisme yang anda pertahankan itu benar-benar prinsip dan memiliki dasar yang kuat. Kalau dalam dunia ilmiah adalah memiliki evidence based. Karena kita kita mantap beridealisme ria dan kukuh memegangnya, dia akan menguasai diri kita, sehingga manifestasi yang nampak oleh orang lain adalah ”kita merasa sangat benar”. Bagaimana ketika ada disekitar kita, kita menjumpai orang yang demikian?

Menurut saya, sangat tidak nyaman bertemu dengan orang tersebut. Bisa jadi akan muncul bentuk-bentuk agresivitas yang dapat merusak hubungan. Ataupun ketika kita memilih meninggalkan komunitas dengan tujuan mempertahankan idealisme, kita harus dapat memastikan bahwa pilihan kita pun memiliki dasar prinsip yang tepat

 
 
Dan manusia adaptiflah yang mampu bertahan dalam perang idealisme tersebut. Ia mampu secara asertif mengungkapkan idealismenya namun bersikap fleksibel dan mengelola emosinya untuk dapat menerima perbedaan idealisme. Ia akan menggunakan cara-cara yang benar dan tepat dalam menyampaikan keinginannya tanpa bermaksud secara revolusioner mengubah cara pandang ataui sebuah sistem untuk dapat menerima ide-idenya. Kita merasa benar tapi bukan paling benar. Kita memiliki pendapat, tapi orang lain pun mempunyai hak yang sama berpendapat. Akibatnya adalah saling menghormati dan menghargai. Sehingga tercipta sebuah hubungan yang harmonis.

Membunuh idealisme menjadi pilihan yang kurang tepat ketika kita belum mengungkapkannya secara baik. Karena pelan tapi pasti kita menjadikan pemikiran kita tidak berkembang dan tidak kritis memandang sebuah permasalahan. Kita hanya mengikuti secara buta apa pendapat orang tanpa kita tahu apa sebenarnya keinginan kita.

Jadi tidak ada salahnya kita belajar mengembangkan asertivitas dalam mengungkapkan idealisme. Karena mempertahankan dengan cara tidak benar akan banyak melukai komunitas. Dan membunuhnya berarti melukai diri sendiri.

Selamat belajar..... 

Rabu, 11 Februari 2015

Benteng Iman



BENTENG IMAN…

Malam itu situasi cerah, kondisi yang tidak biasanya mengingat setiap sore hingga malam kota kami diguyur hujan. Alhamdulillah kami bisa mennghadiri kajian yang cukup bermanfaat dan recharge iman serta menambah wawasan.

Kajian dimulai bakda isya’, setelah kami tuntas menunaikan ibadah sholat isya’ berjamaah. Dibuka dengan lantunan sholawat dan iringan rebbana mengingatkan kami untuk selalu bersholawat pada sosok mulia yang telah dipilihNya mengajak kita semua mengikuti Islam. Dengan santun akhlaknya menjadikan contoh bagi kita semua untuk terus dan terus memperbaiki diri. Maha Suci Allah yang Menghadirkan sosok Mulia Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.

Tiba saat yang dinanti, KH. Imam Hambali, pengasuh ponpes mahasiswa Al Jihad Surabaya, memulai kajiannya. Sungguh sosok yang tawadhu’ dan down to earth penampilannya. Sosok yang biasanya terbatas kami dengarkan suaranya melalui radio atau kami lihat di televise swasta Surabaya. Dibuka dengan salam dan sedikit ramah tamah alhamdulillah sepanjang beliau menyampaikan kajian audience tampak antusias dan tidak mengantuk.

Beliau mengawali kajian dengan menceritakan saat-saat diusirnya setan dari surga, dikarenakan kesombongannya. Saat akan diusir, setan mengajukan permintaan kepada Allah dan dikabulkan. Permintaannya yaitu :
1. Tidak meninggal hingga kiamat (berumur panjang)
2. Mengajak sebanyak-banyaknya kaum Adam untuk menjadi temannya di Neraka. Terkecuali mereka yang mampu menjaga keikhlasan dalam hatinya.
 

Keikhlasan sangatlah terkait dengan keimanan dalam diri seseorang. Meski semua adalah hidayah dan anugrah Allah untuk terus memegang keimanan dan keislaman serta mampu bersikap ikhlas, namun KH. Imam Hambali kemarin membagi tips untuk kiranya kita dapat menjaga keimanan kita. Atau lebih pasnya disebut benteng Iman. Diantara benteng Iman adalah :
  1. MASJID. Frekwensi hadir di masjid sangat membantu kita untuk terus mengingat dan beribadah kepada Allah. Setidaknya kita membentengi diri dengan bentuk-bentuk ibadah yang istiqomah ketika kita menautkan hati kita pada masjid
  2. AL QUR’AN. Al Quran sebagai Kalam Allah akan membantu kita untuk kembali mengingat dan memahami petunjuk-petunjuk Allah. Aturan-aturan dalam agama kita. Dan banyak disebutkan bahwa dengan membaca Al Quran akan membawa keajaiban dan kemuliaan bagi pembacanya.
  3. DZIKRULLAH. Jelas disini, benteng iman yang ketiga adalah terus mengingat Allah. Menyebut kalimat-kalimat thoyyibah yang dicontohkan Rasul.

Dan kemudian KH. Imam Hambali terus menegaskan bahwa kita wajib secara bersama-sama, kompak, bersatu padu memakmurkan masjid sebagai ikhtiar kita membentengi iman. Abaikan perbedaan, selama secara aqidah masih mengaku Islam, kita wajib bertoleransi dan bersikap ramah. 

Kajian ditutup dengan doa dan kembali diiringi sholawat untuk mengantar tamu-tamu pulang kembali kerumahnya. Semoga bermanfaat.

Kamis, 05 Februari 2015

Home sweet home...



RUMAHKU ISTANAKU...



Sering kita mendengar istilah diatas..bahkan ada yang menyampaikan bahwa itu adalah sebuah hadist atau istilah yang pernah digambarkan Nabi Muhammad SAW. Maksud dari istilah diatas adalah bagaimana sebuah rumah menjadi nyaman bagi penghuninya, menjadi sebuah tempat pulang dan berkumpul lagi yang membawa kedamaian bagi orang yang tinggal di rumah tersebut.
Kadang kita membayangkan sebuah rumah yang nyaman adalah yang cukup fasilitas, lapang dan penuh dengan perabot yang kita butuhkan. Namun banyak kisah sinetron yang tidak mencontohkan seperti itu. Bahkan dalam kehidupan sehari-haripun sering kita temui berbagai kisah pilu yang berasal dari penghuni rumah gedongan.
Rumah yang membuat penghuninya tidak betah, lebih banyak menghabiskan waktu di luar dan kembali ke rumah hanya untuk tidur. Rumah yang tanpa gelak tawa, canda kemesraan serta tangisan bahagia orang-orang didalamnya. Padahal gedung yang ada cukup layak, lebih dari sekedar tempat untuk tidur dan sangat memungkinkan orang-orang nyaman dan berinteraksi serta betah didalamnya. Tidak jarang kita menjumpai rumah seperti itu.
Namun ada juga sebuah cerita, rumah yang tidak begitu bagus, namun orang-orangnya sangat nyaman, selalu merindukan rumahnya dan tidak akan bisa tidur nyenyak jika bukan di rumahnya. Bahkan penghuninya selalu membanggakan rumahnya.
Rumah yang selalu dirindukan, di jaga rapi dan dipelihara. Berisian kekompakan sebuah keluarga. Rumah yang menjadikan setiap penghuninya merasakan kedamaian yang tidak mungkin dapat ditemukan di tempat lain, sekalipun tempat lain tersebut lebih segalanya jika dibandingkan rumahnya.
Tipe bagaimanakah rumah kita?
Selanjutnya adalah saya ingin berbagi hasil taklim saya dengan Ust. Junaidi Sahal tentang bagaimana supaya rumah kita membawa kedamaian bagi peghuninya..
1.    Melakukan ibadah di rumah.
Rasul menganjurkan untuk melakukan sholat sunnah di rumah. Karena dianggap sholat sunnah sebagai hak dari rumah. Dengan sholat sunnah dirumah, kita memiliki kesempatan untuk beribadah di rumah.
2.    Membaca Al Qur’an di rumah
Membaca Alqur’an berarti kita berdzikir kepada Allah, mengingat Allah. Dengan berdzikir di dalam rumah, kita menghidupkan rumah kita.
Demikian sharing saya semoga bermanfaat....

Rabu, 04 Februari 2015

Direktorat Keayahbundaan



Menyambut Gembira Direktorat Keayahbundaan

Salah satu tujuan menikah adalah memiliki anak. Memiliki anak, menjadikan setiap pasangan menjalani peran sebagai orang tua. Galau menjadi orangtua seringkali dialami oleh setiap pasangan yang merencanakan memiliki anak atau sedang menanti kehadiran anak. Sanggupkah mengasuh, mendidik dan mengantarkan ananda menjadi “seseorang” yang nantinya membanggakan orang tua.
Perjalanan hidup sebagai orang tua memang berliku. Banyak hal-hal yang kadang diluar perkiraan dan perencanaan yang terjadi dalam perjalanannya. Tidak jarang hal tersebut menjadi kendala dan kesulitan tersendiri bagi orang tua.
Membayangkan ketika anak memunculkan perilaku diluar kebiasaan atau norma, pasti berbagai macam reaksi muncul pada orang tua. Diantaranya malu, langsung mencegah atau memarahi bahkan ada yang langsung pergi bersama anaknya.
Memperlakukan anak memang membutuhkan seni tersendiri. Karena setiap anak lahir dengan karakter dan keunikan masing-masing. Meski mereka bersaudara atau kembar, masing-masing membutuhkan sentuhan pendidikan yang berbeda. Dan sekali lagi menjadi orang tua membutuhkan banyak tenaga dan kepedulian.
Keadaan ini memang bukan sepenuhnya kesalahan pasangan, namun sistem pendidikan yang ada selama ini kurang mempersiapkan seseorang menjalani profesi orang tua. Profesi orang tua dianggap sebagai sampingan dan masing-masing orang dituntut untuk mampu belajar secara otodidak ataupun secara tidak langsung mencontoh pola didik orang tuanya terdahulu.
Maka saya menyambut bahagia adanya direktorat keayahbundaan yang digagas Mendikbud saat ini. Wadah itu merupakan sarana resmi orang tua untuk belajar, sharing dan mengukur kemampuan dirinya menjadi orang tua yang ”tepat” bagi anaknya. Bahkan dalam angan-angan saya direktorat ini dapat bekerjasama dengan Rumah Sakit Bersalin, dalam rangka membekali calon-calon orang tua atau bahkan KUA, yang dapat membekali calon mempelai dengan menyiapkan secara psikologis para calon ayah dan bunda.
Sambil menunggu direktorat tersebut launcing, menurut beberapa referensi yang saya baca, saya menarik kesimpulan bahwa satu hal yang merupakan kunci untuk dapat tetap menjalani peran sebagai orang tua dengan nikmat adalah rasa syukur dan cinta. Syukur karena kita memiliki kesempatan untuk mendapatkan amanah dan kesempatan membuktikan peranan kita sebagai khalifah dimuka bumi. Dan cinta sebagai dasar kita untuk mengembangkan sikap sabar dalam menghadapi setiap tingkah ananda.
Tidak setiap yang menginginkan seorang anak mendapat kepercayaan dan ketika kita mendapat kepercayaan sebagai orang tua, esensinya adalah kita meyakini akan dimampukan oleh Yang Memberi dan Mempercayakan.
Mengutip tulisan pak Munif Chatib :” Menjadi orang tua..tidak hanya taqdir, namun seperti hadirnya sebuah kesempatan untuk membuktikan peranan kita dimuka bumi , meneruskan rencana ilahi, mewarnai anak-anak dengan cinta. Lalu biarkan siklus berputar sampai zaman ditamatkan”..mengingatkan saya untuk selalu bersyukur dan optimis bahwa setiap kesempatan, meski dengan resiko yang ada merupakan sarana pembelajaran bagi kita untuk menjadi insan yang lebih baik dan berguna.
Jadi...Jangan takut menjadi orang tua dan jangan pernah putus asa belajar menjadi orang tua yang ”tepat” untuk anak-anak kita....